Platform menulis yang membayar daily dan insentif dalam jumlah besar di awal itu tak lebih dari sekadar teknik pemasaran. Tujuannya jelas, agar para penulis berbondong-bondong mendaftarkan karya mereka. Dari sudut pandang ekonomi-politik, tentu saja itu salah satu dari pembakaran modal sehingga nanti di kemudian hari mereka bisa mengeruk lebih banyak, menghasilkan gunung uang lebih bertumpuk daripada modal yang dikeluarkan di awal.
Dulu, awal-awal saya masuk ke dunia platform, salah satu platform bahkan membayar saya Rp85.000 per 1000 kata. Rata-rata total jumlah kata dalam satu novel adalah 200 ribu. Belum lagi bonus penyelesaian jika diselesaikan dalam tenggat waktu sesuai kontrak. Dan di platform tersebut saya sudah dikontrak secara official sebanyak tiga kali. Bayangkan berapa penghasilan yang bisa saya dapat waktu itu hanya dengan menulis novel yang diinginkan pasar, untuk pembaca awam, tidak membutuhkan banyak teknik penulisan seperti buku-buku sastra klasik.
Namun, platform-platform ini tampaknya memang hobi sekali ganti-ganti S&K, ganti-ganti sistem. Berpendapat bahwa sistem baru akan lebih menguntungkan para penulis, berdalih bahwa mereka memihak para penulis. Pada kenyataannya, tidak ada keberpihakan dalam persoalan bisnis. Itu hanya omong kosong yang diharapkan bisa menyemangati, menenangkan, serta meredam kekecewaan para penulis.
Jangankan di zaman digital sekarang ini, penulis atau bahkan seniman di belahan dunia mana pun memang sudah mengalami kezaliman sistem. Pengkhianatan idealisme. Terlebih lagi perampasan kebebasan dalam berpikir dan berkarya. Tidak menulis yang sedang tren, penulis harus sanggup menahan lapar dan dahaga. Menulis yang diinginkan pasar pun, penulis harus sanggup haknya dirampas serta bersedia menyiksa dirinya sendiri.
Dalam banyak sudut pandang, kita mungkin melihat ini sebagai inovasi mutakhir. Akan tetapi, inovasi yang sesungguhnya diharapkan dapat memakmurkan kehidupan penulis, tak pernah terwujud. Era industrialisasi 4.0 ini memang tak tanggung-tanggung menzalimi masyarakat bumi. Sang inovator hanya memikirkan dirinya sendiri dan keberlangsungan hidupnya, sehingga hanya perut yang diurus. Padahal itu tak lebih dari egosentrisme-politik.
Saya hanya bisa mendoakan untuk para penulis dan seniman yang tak bisa bertahan dalam era digitalisasi ini, semoga mendapat rumah yang aman dan nyaman, yang mana di dalamnya berisi orang-orang yang tak hanya memikirkan perut sendiri. Dan bagi para penulis yang paling tidak punya popularitas memadai, semoga tak mengkhianati idealisme pribadi, meskipun juga jangan sampai kelaparan.[]