(Source: google.com)
DUA KUTUB MAGNET
Oleh: Momoy
Lintang membentang, membatasi raga yang merindukan sesuap kasih. Aku tidak keberatan kau terbang jauh melayang di udara, tetapi aku cemas sebab sayap-sayapku tak lagi kokoh. Rapuh, tak terima pergolakan kalbu, runtuh, tak dapat berlabuh.
Di suatu hari, aku memilih menjadi embun pagi buta untuk menyelamatkanmu dari dingin yang merayap menggerogoti sukma. Namun, tatkala panas mengoyak kulitmu yang lembut, membakar setiap inci bayangmu yang tak lagi dapat kulihat dari pantulan sinar mentari, akulah teduh yang menjelma tanpa kau sadari.
Menyaksikanmu dari tempat yang sulit kau lihat, tak cukup mengurangi nestapa, lalu membuat batin mengutuk takdir yang tak dapat menghadirkan raga demi senyum yang kian kali kau ukir.
Aku hanya bisa mengembuskan napas, berharap angin tak mengurainya, tapi menerbangkan bisik agar kau sadar telingamu masih berfugsi dengan baik. Meski begitu, bisakah kau mendengar jerit yang meredam pada hampa? Dapatkan kau melihat teduh tak sekadar merasa?
Aku dahaga, dan perhatianmu ialah cairan yang kuharap mampu melepasnya. Melegakan.
Jika suatu hari aku buta, kuharap kau mengerti bahwa tangan ini butuh dirimu sebagai tongkatnya. Apabila aku bisu, aku ingin kau yang paling mengerti bahasa tubuhku sebelum bahasa cintaku. Akan tetapi, apabila aku tuli, tak mendengar jeritmu meski berkali-kali meneriak pekak, maka diamlah dan ceritakan kisahmu dari hati.
Dua kutub magnet tak pernah sama. Jika kita saling membelakangi, saling tolak-menolak, mungkin saja kita butuh memutar arah. Tidak, salah satu dari kita.
Pada sepi aku pernah mengutukmu sebagai pelaku utama.
Bolehkah aku menghela napas sekali lagi?
Sekarang, berikan aku kesempatan untuk memberitahumu bahwa pelaku utamanya adalah ... aku yang seharusnya memutar arah. Tersampaikan menjadi ikatan yang sah.