SEBUAH AKHIR SETELAH MELEWATI JUTAAN NELANGSA
Oleh: Momoy
Sering kali aku merasa sendiri meskipun banyak orang menemani. Aku mengaku pada sang diri begitu nyaman dengan sepi, nyatanya jiwa selalu meronta meminta bising pada kata yang terucap di waktu-waktu bersamaku denganmu. Semestinya kamu tahu, aku tak pernah ingin menjadi sendiri, berkutat dengan kesibukan dunia, menikam dari segala sisi. Belum lagi beberapa urusan yang acap kali selalu menyerang ulu hati. Pada saat ingatan terbayang tentangmu, jerit kian hadir sementara bulir bening tertahan hingga hanya embun yang melapisi netra.
"Apakah kamu lelah menghadapi diriku dengan sejuta mimpi dan omong kosong yang selalu aku ceritakan padamu dengan penuh ambisi?" tanyaku padamu.
Sayangnya, kamu selalu menganggap diriku tak pernah salah. Apa pun yang kulakukan, kamu selalu mendoakan, memberikan dukungan demi dukungan ketika lutut ini hampir saja menyentuh tanah. Spontanitas tanganmu membuktikan diri ini begitu kamu sayangi. Perlahan-lahan gurat senyum kamu ukir menyentuh kedalaman jiwa yang akhirnya menjatuhkan hujan air mata di manik.
Memang apa istimewanya diriku? Seharusnya kamu menyerah saja dari dulu. Aku paham telingamu telah bising dengan sejuta mimpi yang mustahil untuk kuwujudkan. Matamu telah muak melihat antusiasnya wajahku saat bibir berceloteh tentang masa depan yang kepastiannya tak bisa dipastikan.
"Kita udahan aja," katamu di suatu malam, seketika membuat degup jantungku meronta, tak dapat mengutara penolakan yang sayang sekali tersangkut di tenggorokan.
Aku terdiam sementara kamu tak memandang sama sekali ke arahku. Ekspresi di wajahmu tak pernah kusaksikan sekecewa ini.
"Apa aku salah? Apa aku salah memelihara ambisi untuk mencipta harapan-harapan yang telah aku rajut bersama angan bersamamu?"
Sayangnya, kalimat itu hanya mampu dikatakan oleh kalbu. Sementara mulut bergeming. Merasa diri seperti orang asing yang sedikit pun tak mengenalmu.
"Apakah aku benar-benar mengenalmu?"
Berita buruknya, hampir setahun hubungan kita terjalin, tetapi aku tak sepenuhnya mengenalmu. Aku tak tahu kamu. Siapa kamu? Kenapa kamu begitu asing di mataku? Menjadi lain dari yang pernah memoriku simpan di dalam otak.
Sekuat apa pun sel-sel dalam otak merayapi database di kepala, tak kutemukan jawabannya. Bahkan diri semakin tak tahu kamu siapa. Apakah benar kamu ialah kasih yang selalu mendukung setiap kerja kerasku?
Atau mungkin, akulah yang sebenarnya tidak mengenal diriku sendiri. Atau mungkin akulah yang tidak tahu siapa diriku, sehingga di ingatanku sendiri saja tak bisa menemukan bayangan dirimu yang kini bergeming bagai batu karang di tepi lautan.
"Yakin mau udahan saat suasana hatimu sedang dilanda keraguan?" tanyaku akhirnya dengan suara yang begitu lirih. Umpamanya, semut saja mungkin tak akan mendengar celotehku. Namun, ternyata kamu mendengarnya. Entah, mungkin bukan telinga fisikmu yang terlalu peka. Aku merasa seperti kamu tahu apa pun yang akan aku ucapkan.
"Aku sayang kamu. Tapi ... kamu nggak pernah sayang sama aku."
Bulir bening menitik tak tertahan, membasahi wajah, mengalir, menghunjam lantai lembab di teras rumah, nyatanya dingin telah menikam beberapa waktu lalu sejak rembulan mulai tumbuh di dahan malam.
Musikalisasi Video