Cerpen Horror Tetanggaku yang Pendiam

(Source: Shutterstock.com)



TETANGGAKU YANG PENDIAM
Oleh: Momoy

Sesungguhnya aku tak tahu apa yang terjadi dengan si Rahun. Aku juga tak begitu peduli dengannya. Entah kenapa akhir-akhir ini aku jadi sangat penasaran dengan apa yang dia lakukan di malam hari sehingga paginya ia selalu kulihat baru pulang dari arah timur perkampungan dengan mata sayu dan berkantung. Alah, saat kutanyai pun dia hanya menjawab sekenanya.

"Dari timur." Begitulah kiranya dia sering kali menjawab saat kuempaskan pertanyaan ke telinganya.

Ya, sudah. Aku pun tidak peduli apa yang dia lakukan. Yang penting, aku sudah mempertanyakan tanya-tanya yang hanya sekadar basa-basi normatif sebagai kawan sekampung padanya. Dan kurasa jawabannya itu hanya untuk mematikan pertanyaan-pertanyaanku yang lain saja, atau mungkin juga berguna untuk membungkam mulutku seolah yang dia katakan adalah ekspresi ketidakinginannya ditanyai oleh orang lain.

Baiklah. Rahun memang selalu seperti itu. Orangnya sangat tertutup dan jarang sekali bersosialisasi. Ah, bukan jarang, malah tak pernah sekali pun.

Aku pun melengos mendengar jawabannya. Ini sudah kesekian kalinya.

Pernah suatu ketika Rahun aku tangkap basah keluar di tengah malam pada malam Jumat. Ah, sudahlah, pikirku karena memang tidak ingin terlalu ikut campur dalam urusan orang lain. Toh, apa-apa yang dia lakukan akan berakibat pada dirinya sendiri. Kalau dia berbuat baik, tentu akan baik juga yang dia dapat. Sebaliknya, kalau berbuat jahat, akan buruk juga yang ia temukan.

Aku tak ambil pusing, lantas kembali tidur. Tapi tiba-tiba tidurku tak nyenyak pula. Mataku telah mengantuk, bukan sekadar ngantuk. Rasanya begitu berat, tapi tetap tak mau pergi kesadaran ini. Jadi, aku tak bisa tidur. Bahasa dokternya, sih, insomnia.

Akhirnya aku memutuskan menyesap sebatang kretek di teras rumah. Rasanya aneh. Sangat, sangat aneh! Kenapa pula bulu tengkukku seperti berdiri massal? Mungkin karena angin malam, pikirku. Sebab memang angin sedang berembus sepoi. Ah, tidak, tidak. Ini jelas aneh sekali. Lama kelamaan, tubuhku rasanya kaku. Pundakku berat dan pegal-pegal. Apa aku masuk angin? Lha, kenapa pula anginnya masuk ke dalam tubuhku? Memang apa yang dicari angin dari diri ini?

Sudah mulai. Kalau sedang sendiri, aku memang kerap kali berpikir gila. Segala hal dipertanyakan oleh otak ini.

Sebatang kretek sudah habis hanya untuk memuaskan keinginan tenggorokan ini merasakan gurihnya aroma-aroma cengkeh yang bercampur dengan tembakau. Bukan malah ngantuk, tapi mata ini malah semakin jadi saja tak mau terpejam. Hasilnya, aku tambah saja lagi biar tidak ngantuk sekalian, malam ini kopi hitam pahit yang beraksi.

Sebelum mulai mengarahkan langkah ke dapur, aku intip-intip lagi teras rumah Rahun yang memang ada di samping rumahku. Lampunya nyala, dan artinya dia sedang tidak ada di rumah itu. Memang terbalik, karena kalau lampunya mati, itu berarti Rahun sudah pulang dan ada di rumah itu.

Aku sudah amat penasaran. Acap kali aku membaui sesuatu yang tidak enak dari rumah si Rahun. Memangnya mungkin kalau dia mengumpulkan sampah di dalam rumah? Tidak mungkin juga seperti itu, kan? Atau mungkinkah kalau ada bangkai tikus atau kucing di rumah itu sedangkan Rahun tidak pernah membersihkannya?

Ah, aku sudah tidak tahan dan ternyata kakiku melangkah lebih dekat ke rumah berlampu remang-remang tersebut. Aku baru sadar kalau tubuhku sudah tepat ada di depan teras rumah lelaki berusia 40 tahun itu. Aku menengok ke kiri dan kanan melihat sekeliling teras rumahnya. Cukup luas, sih, karena terdapat beberapa kursi dan meja di sana. Kadang, aku melihat Rahun duduk dan bergeming seperti orang mati tatapannya kalau-kalau sore hari tiba.

Aku sangat tahu kalau Rahun ini tidak akan pulang cepat karena biasanya dia memang pulang di pagi buta. Entah apa yang dia kerjakan. Mungkin semacam pekerjaan yang mengharuskan pegawainya masuk malam dan istirahat di pagi hari. Lha itu, kan, cuma kerjaan seorang sekuriti. Masa, sih, Rahun itu seorang sekuriti? Memang, aku tidak begitu percaya, tapi untuk saat ini aku memilih berusaha percaya saja.

Di tengah-tengah pikiran yang fokus memikirkan segala kemungkinan tentang si Rahun, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara kucing yang bertengkar.

"Sialan!" umpatku sambil mengelus dada yang hampir saja keluar isinya.

Dua ekor kucing ada di atas atap rumah Rahun. Aku kenal sekali dengan kucing itu, mereka berdua yang sering kali mengikuti ke mana langkah Rahun pergi. Sebentar, sepertinya ada beberapa kucing lagi yang sering sekali aku lihat berkeliaran di sini. Tapi, akhir-akhir ini banyak kucing yang sudah tidak bermunculan. Hasilnya, hanya tersisa sepasang kucing saja, yakni kucing yang selalu bertengkar tak bisa akur itu. Terus, ke mana perginya kucing yang lain? Ah, seharusnya aku tidak memikirkan perihal itu, tidak penting juga.

Aku ragu sekali untuk masuk ke teras rumah si Rahun. Seram sekali kelihatannya. Suasana malam ini juga tidak biasanya seperti ini. Aku sampai merinding hanya dengan menyaksikan sekeliling rumah si Rahun.

Aku berpikir untuk keluar saja ke pos ronda, karena biasanya akan ada banyak suami-suami yang tidak diizinkan istri mereka untuk masuk rumah. Masalahnya, sih, aku tak peduli. Yang kutahu, ya, hanya itu, sehingga mereka semua berkumpul di pos ronda sambil menonton acara TV dengan dua hansip di sana.

Tapi saat datang ke pos ronda, sepi. Ke mana perginya orang-orang yang biasanya rame itu? Atau kali ini mereka sudah diizinkan istri mereka untuk masuk rumah? Sudahlah, kenapa juga aku memikirkan rumah tangga mereka? Aku pun tak tahu menahu tentang urusan rumit seperti itu.

Aku duduk di pos ronda sendirian. TV tak ada, mungkin hansip sedang libur bertugas. Sialnya, aku lupa kalau ini malam Jumat. Oh, pantas saja aku merasa ngeri sendiri. Kata orang, di perkampungan ini memang terkenal seram. Lihat saja jalan-jalannya. Di malam-malam seperti ini, jalan-jalan itu terlihat seolah mati. Tak ada pula lampu-lampu penerang jalan. Aku ingat kalau ini Indonesia. Jadi tak heran lagi kalau perkampungan-perkampungan tak ada lampu-lampu dan jalannya banyak berlubang. Meskipun ada satu atau dua, beberapa minggu juga bakalan mati dan tidak diganti lampunya. Kalau begitu, sih, bakalan banyak hantu berkeliaran.

Hah! Membuatku tertawa saja. Kenapa pula aku menghubungkan masalah lampu dengan hantu-hantu? Lha, tapi ini kan Indonesia. Bicara masalah-masalah hantu dan mistis itu wajar saja dan tidak sedikit yang mempercayai hal semacam itu. Aku, toh, tak percaya dengan perihal macam itu.

Entah mengapa, meskipun merasa tidak percaya, tubuh ini menolak untuk tidak percaya. Ya, lihat saja bulu-bulu di tanganku ini sudah berdiri sedari tadi. Itu artinya, kulit-kulit, rambut, serta semua yang ada pada diriku ini asli made in Indonesia.

Di tengah pemikiran-pemikiran aneh yang sedang otakku proses, tiba-tiba telingaku menangkap suara klatak klutuk yang entah itu suara berasal dari mana. Leher dan kepalaku bekerjasama mencari-cari asal suara itu. Di mana? Apakah dari timur? Barat? Utara? Atau selatan? Ternyata tak ada.

Suara-suara itu tidak hanya sekali terdengar. Aku makin membelalak dan rambutku rasanya menegang, terasa berdiri seolah potongan rambutku ini seperti gaya-gaya anak funky.

Tak berselang lama, suara-suara itu berubah seperti angin yang bergerak cepat. Aku spontan menengadahkan kepala ke langit. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Ternyata ini yang membuatku tidak bisa tidur malam ini.

Itu apa? Itu seorang manusia. Seorang manusia! Dan dia terbang? Bagaimana mungkin seorang manusia bisa terbang? Jelas-jelas ini sesuatu yang sangat mustahil jika kita rumuskan dalam ilmu Fisika atau hitungan-hitungan dalam Matematika. Manusia bisa terbang itu sudah melawan teori-teori dalam ilmu pengetahuan. Tidak hanya terbang sekali, tapi seorang manusia itu bolak-balik dan berputar-putar tanpa busana. Posisinya seperti orang yang merengkuh diri, menekuk lutut dan siku-siku tangannya. Seolah kedua tangannya itu adalah sayap. Bagaimana mungkin?

Tengkukku tambah merinding. Perasaan tambah tak enak saja. Dada ini sudah ingin mencelos. Apalagi mataku, jangan ditanya. Ini semua serba takut yang aku rasakan. Tapi, aku menyadari sesuatu. Aku menyadarinya saat seseorang itu kelihatan wajahnya, ternyata dia adalah Rahun. Ya! Dia Rahun. Rahun yang tinggal di samping rumahku itu. Rahun yang selalu keluar di tengah malam dan pulang di pagi buta.

Jadi, aku makin mengerti sekarang bahwa si Rahun itu sering dibicarakan oleh orang-orang tentang dirinya yang kerap ditemui menjadi Tuselaq (semacam hantu jadi-jadian pemakan bangkai). Rahun, Rahun. Ilmu apa pula yang kau pelajari sehingga berubah jadi mengerikan seperti itu? Pantas saja kau tidak suka makanan manusia, dan sekarang kau pemakan bangkai. Apalagi salah satu makanan favoritmu adalah kodok sawah.

Ya, Tuhan!

Tentang Penulis

Imron Rosyadi yang bernama pena Momoy adalah seorang penulis sekaligus pemimpin redaksi di sebuah penerbit. Penulis yang terkenal dengan karya bukunya berjudul Paradoks Waktu ini mulai menulis di usia 15 tahun. Sampai saat ini, penulis sudah melahirkan 3 buku cetak dan beberapa ebook. Menulis karya dalam berbagai genre, termasuk fantasi dan horor, dan terutama romansa.
Kritik dan saran ke penulis melalui akun media sosial:
Ig: @momoy_official_

Marion D'rossi

Marion D’rossi, lahir pada 1 Januari 1995, adalah seorang penulis yang sejak kecil memiliki kecintaan mendalam terhadap dunia sastra. Ia telah menelurkan karya-karya dalam berbagai genre, mulai dari drama hingga petualangan, tetapi genre favoritnya adalah Thriller dan Fantasi, yang memungkinkan imajinasinya berkembang tanpa batas. Marion percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menginspirasi, menghibur, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh kejutan. Selain menulis, Marion juga berperan sebagai Manajer IT di MS Stories, sebuah platform modern yang menghubungkan penulis dan pembaca melalui novel digital. Di tengah kesibukannya, ia tetap menyempatkan waktu untuk mengasah keterampilan menulis, berinteraksi dengan komunitas sastra, dan membangun dunia imajinatif yang memikat. Bagi Marion, menulis bukan hanya profesi, tetapi juga cara untuk meninggalkan jejak dalam perjalanan hidup.

Posting Komentar

Bijaklah dalam berkomentar. Gunakan kata-kata yang sopan karena kita adalah bangsa yang beradab.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak