Cerpen Sedih Tentang Pengkhianatan Berjudul Memories of Your Smile

Photo by Kat Jayne from Pexels


Judul: Memories of Your Smile
Penulis: Momoy

Tentang cinta dan kesetiaan. Tentang kasih sayang dan kesetaraan dalam hubungan. Dan tentang indahnya saling berbagi satu sama lain. Semua itu kini telah hilang dalam sebuah kalimat sederhana.

“Kita putus!”

Sehingga, sudah tak ada lagi senyum itu. Senyum yang selalu merubah kemalasanku menjadi antusiasme. Senyum yang selalu menambah semangatku ketika keputusasaan mulai membelenggu. Dan senyum yang senantiasa hadir ketika kebosanan melanda jiwaku.

Kini, yang tersisa hanyalah kepedihan dan air mata setiap kali senyum itu terbayang-bayang dalam memori.

Waktu seakan berhenti sejak saat kalimat sederhana itu terucap dari bibir lelaki itu. Sebut saja namanya Aji, sosok lelaki yang selalu mendukungku dalam berbagai macam kegiatan di setiap harinya. Dan juga sosok lelaki yang telah berjanji akan menikahiku setelah ia tahu bahwa aku ‘hamil’. Aku tak ingin menyalahkan lelaki itu, karena kami berdualah yang telah sepakat melakukannya. Aku juga tak ingin menyalahkan diriku sendiri, karena aku sadar bahwa aku sangat sensitif dengan hasrat seksual.

3 Bulan yang lalu

Setelah usai latihan nge-dance, aku dan salah seorang temanku duduk sambil menunggu jemputan kami datang.

“Eh. Aji enggak jemput kamu hari ini, Fir?” tanya temanku.

“Jemput, dong. Pastinya!” jawabku mantap.

“Enak banget, sih, punya cowok seperti pacar kamu itu, Fir.” Vika memiringkan senyum, tampak iri.

“Kenapa? Iri, ya?” kataku coba menggoda Vika.

“Siapa yang enggak bakal iri coba. Kalian itu selalu terlihat seperti pasangan suami-isteri, tahu. Bukan cuma aku aja, tapi teman-teman yang lain juga sering ngomongin kamu dan pacarmu itu, Fir,” jelas Vika sambil mengencangkan tali sepatu.

“Hehe. Terima kasih, loh.” Aku hanya bisa menjawab singkat, karena tidak tahu harus menanggapi Vika seperti apa.

Memang tidak mengherankan jika semua orang iri terhadap hubunganku dengan pacarku. Selain pengertian dan perhatian, Aji juga selalu menjemput dan mengantarku ke mana pun yang aku inginkan. Aku dan Aji berpacaran sejak kelas 2 SMA, yang artinya sudah 4 tahun kami menjalani hubungan asmara.

“Eh, Fir. Pacar kamu sudah datang, tuh!” kata Vika membuyarkan lamunanku.

“Oh, iya. Aku duluan, ya, Vik,” kataku seraya melangkah menuju Aji yang datang menggunakan sepeda motor miliknya.

“Sudah nunggu lama, ya, Sayang?”

“Enggak, kok. Yuk, jalan!”

Hari itu rencananya aku akan berkunjung ke rumah Aji. Dari awal kami berpacaran, aku selalu melakukannya. Berkunjung ke rumah Aji maksudku. Hubungan kami sehat-sehat saja. Namun, entah setan apa yang merasuki kami berdua sampai akhirnya melakukan hal kotor. Setelah semuanya terlanjur terjadi, aku menangis dan menyesal. Namun, saat itu Aji membuka mulutnya.

“Fira. Maafin aku,” katanya, terdengar begitu tulus. Sambil mengelus-elus rambutku penuh kasih sayang.

“Enggak, Ji. Ini semua bukan salah kamu. Aku menangis bukan karena kamu. Aku hanya ... hanya merasa bersalah,” kataku sambil meneteskan air mata yang tak hentinya mennghunjam relung hati.

“Fir. Aku janji, aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu. Aku akan berbicara dengan orang tuamu.”

“Aji. Semua ini salahku. Kamu jadi terbebani oleh semua ini. Maafkan aku, Ji.”

“Enggak. Ini semua sudah terjadi, Fir. Enggak ada yang harus disesali. Kita adalah sepasang kekasih yang selalu membuat orang lain iri dengan kita. Karena itu, kita akan buktikan pada semua orang bahwa saat menikah, kita juga bisa membuat pasangan-pasangan yang lain iri dengan kita.”

Aji pun tersenyum seraya menghapus air mataku. Senyum hangatnya itu selalu saja dapat meredakan kesedihanku. Aku mempercayakan harapanku pada Aji karena berkata akan bertanggung jawab atas semuanya.

Walau merasa sangat menyedihkan, tetapi hari itu adalah hari terbahagia di dalam hidupku. Aku berharap waktu cepat berlalu agar Aji menjadi milikku seutuhnya. Akan tetapi, semua itu tidak sesuai dengan apa yang selama ini aku harapkan. Aku merasa bahwa kepercayaanku sudah disalahgunakan oleh Aji.

Beberapa bulan kemudian, tanpa kusadari, Aji telah berubah menjadi orang yang tidak pernah kukenal.

Malam itu di suatu cafe, kami menikmati malam bersama demi merayakan profesi baru yang telah diraihnya. Aji telah diangkat sebagai seorang manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata. Malam itu aku sampai membayangkan akan masa depanku yang cerah bersama Aji dan anak-anakku kelak.

“Aku bersyukur atas profesi baru kamu. Semoga akan lebih baik ke depannya, Sayang,” ucapku pada Aji sambil melemparkan sebuah senyum.

“Terima kasih, Sayang,” balasnya disertai anggukan kecil.

“Oh, iya. Aku punya surprise buat kamu, Sayang.”

“Oh, iya?! Apa itu?” Lantas Aji diselimuti rasa penasaran.

“Sebentar lagi kita akan punya anak. Aku hamil!” ujarku sambil tersenyum gembira. Namun, senyum di wajah kekasihku, Aji, perlahan-lahan berubah.

“Apa?! Hamil?! Kita bakalan punya anak?! Ngarang kamu, ya?!” Nada suara Aji mendadak tinggi. Awalnya, aku mengira kalau Aji sedang bercanda karena sebelumnya ia bilang akan bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi di antara kami.

“Sayang? Kenapa? Kamu seharusnya senang, kan? Kita tinggal menikah aja. Aku yakin orang tua aku akan setuju, Sa—”

“Nikah?! Sebegitu mudahnya kamu bilang kita harus menikah? Apa kamu mau menghancurkan masa depan aku, Fira?!”

Aku tak percaya. Setelah bertahun-tahun kujalani hubungan asmara dengannya, itu pertama kalinya ia membentak-bentakku. Bahkan, aku tak percaya bahwa ia pun sudah melupakan janji-janji manisnya.

“Sayang? Maksud ... maksud kamu—”

“Maksud aku, kita enggak akan pernah menikah!” tandasnya lagi, penuh emosi. “Kita putus, Fira!” Aji kemudian berlalu pergi meninggalkanku seorang diri.

Aku terpuruk. Tatapan mataku hampa dan kosong. Sungguh, aku tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Air mataku saja tidak bisa menetes. Sakit yang teramat pedih. Aku memaki diri sendiri dengan segala kebodohan yang terlalu mempercayakan semuanya. Bagaimana bisa aku termakan janji-janji itu?

Aku bergeming beberapa saat. Terbangun, kemudian melangkah tak tahu arah.

Dan kini, semua senyum indah itu hanya menjadi sebuah kenangan semata. Ketika aku mengingat kembali, hanya kebencianlah yang aku rasakan. Tiada lagi senyum itu dapat meredakan sedih dan dukaku. Lalu, harus bagaimana lagi akan kujalani hidupku dengan janin yang kini tumbuh di dalam perutku?

Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu. Tangisanku bukan untuk diriku sendiri. Aku hanya berpikir bahwa janin yang ada di kandunganku, yang tidak berdosa ini seharusnya mendapat kebahagiaan yang sepantasnya ketika kelak ia terlahir ke dunia. Akan tetapi, lelaki biadab itu menghancurkan segalanya, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untukku dan janinku. Pada akhirnya, aku hanya menambah dosaku sendiri dengan melakukan aborsi.

Senyum itu ... senyum yang terkenang itu telah tenggelam dalam kegelapan. The memories of your smile are only my sorrow.

Tentang Penulis

Imron Rosyadi yang bernama pena Momoy adalah seorang penulis sekaligus pemimpin redaksi di sebuah penerbit. Penulis yang terkenal dengan karya bukunya berjudul Paradoks Waktu ini mulai menulis di usia 15 tahun. Sampai saat ini, penulis sudah melahirkan 3 buku cetak dan beberapa ebook. Menulis karya dalam berbagai genre, termasuk fantasi dan horor, dan terutama romansa.
Kritik dan saran ke penulis melalui akun media sosial:
Ig: @momoy_official_

Marion D'rossi

Marion D’rossi, lahir pada 1 Januari 1995, adalah seorang penulis yang sejak kecil memiliki kecintaan mendalam terhadap dunia sastra. Ia telah menelurkan karya-karya dalam berbagai genre, mulai dari drama hingga petualangan, tetapi genre favoritnya adalah Thriller dan Fantasi, yang memungkinkan imajinasinya berkembang tanpa batas. Marion percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menginspirasi, menghibur, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh kejutan. Selain menulis, Marion juga berperan sebagai Manajer IT di MS Stories, sebuah platform modern yang menghubungkan penulis dan pembaca melalui novel digital. Di tengah kesibukannya, ia tetap menyempatkan waktu untuk mengasah keterampilan menulis, berinteraksi dengan komunitas sastra, dan membangun dunia imajinatif yang memikat. Bagi Marion, menulis bukan hanya profesi, tetapi juga cara untuk meninggalkan jejak dalam perjalanan hidup.

Posting Komentar

Bijaklah dalam berkomentar. Gunakan kata-kata yang sopan karena kita adalah bangsa yang beradab.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak