Judul: Setitik Asa Dalam Kalbu
Penulis: Momoy
Vira sudah berusia 15 tahun. Ia duduk di bangku SMP kelas 3. Rambutnya panjang dan lembut. Kulitnya putih. Tampak cantik. Ia tersenyum dan tertawa, menambah pesona. Sayang, dia menyembunyikan rahasia besar di dalam hidupnya. Tak satu di antara kawan-kawannya yang tahu.
“Hei, Sayang! Kamu di mana? Aku sudah pulang sekolah, nih!” ujar Dio di ujung telepon.
“Sebentar lagi aku keluar. Aku tunggu di luar, ya!” balas Vira, kemudian menutup telepon.
Bagi Vira, Dio adalah lelaki yang paling mengerti dirinya. Mereka tak berpacaran. Hanya saja, begitulah cara mereka saling menyapa, dengan kata “sayang”. Dio selalu ada untuk Vira kapan pun Vira merasa kesepian dan butuh teman untuk mengungkapkan segala keluh kesahnya.
Vira masih bergeming dengan seribu lamunannya akan penuturan bundanya kemarin sore. Ia ingin menangis sebenarnya, tetapi tak tahu menangis untuk siapa. Ia ingin berontak dan memaki, tapi tak tahu memaki untuk siapa. Yang terlintas hanyalah kata-kata bundanya.
“Vira, Sayang! Sebelumnya bunda dan ayah ingin meminta maaf padamu. Tetapi, tidak apa-apa jika kamu tidak bisa memaafkan kami. Kami harus mengatakan yang sebenar-benarnya padamu bahwa kami bukanlah orang tua kandungmu.”
Vira terperangah mendengar ungkapan sang bunda yang dengan begitu pilu mengungkapkan kebenaran itu padanya. Ingin dia berkata, “Bunda jangan bercanda!”. Akan tetapi, untuk apa bundaku bercanda pada hal serius seperti ini? Pikirnya. Ia pun hanya bisa menahan diri untuk tidak menangis di hadapan bunda dan ayahnya.
“Aku sedikit terkejut, Bun, Yah. Tetapi, apakah itu penting bagiku saat ini? Mengetahui siapa orang tua kandungku?”
“Kamu sudah dewasa, Nak. Kami minta maaf karena sudah menyembunyikan semua ini padamu. Tetapi, seminggu lagi, orang tua kandungmu akan datang untuk mengambilmu dari kami,” jelas sang ibu, tangisnya tertahan, tetapi berhasil menetes membasahi lantai ruang tamu. Sang ayah bisu, sembari mengelus punggung sang bunda.
Vira, gadis polos cantik itu mendekat pada sang bunda, setengah memeluk bundanya, kemudian berkata, “Bunda ....” Begitu serak. “Vira tidak akan pernah meninggalkan Bunda. Vira akan tetap di sini untuk Bunda dan Ayah. Toh, Vira sudah dewasa dan pilihan hidup Vira ada pada diri Vira sendiri.”
***
“Vir! Kenapa melamun? Ada apa?” Tiba-tiba Dio membuyarkan lamunan Vira tentang perihal kemarin sore.
“Eh, maaf, maaf, Yo. Kamu kapan di sini?” tanya Vira sekembalinya dari dunia imaji.
“Baru aja, kok. Kamu kenapa? Ada masalah apa, Vir?” tanya lagi Dio, memastikan.
“Nanti aja aku cerita ke kamu, Yo. Untuk sekarang, mau temani aku ke laut?”
“Boleh, boleh.” Dio menyetujui.
“Iya, udah, yuk!”
Mereka segera melesat ke suatu sunset point di mana biasanya mereka menghabiskan waktu, atau dapat dengan tenang merenungi kehidupan sulit mereka. Gadis yang malang. Dengan usianya yang sekarang, seharusnya dia bisa menikmati masa-masa remajanya seperti gadis-gadis lain. Akan tetapi, kerasnya hidup telah mengontaminasi pikirannya, sehingga hanya luka yang ia dapatkan di masanya kini.
Tidak terpungkiri, memang sangat berat jika ia harus memilih antara orang tua kandungnya atau orang tua angkatnya, yang selama ini telah dengan bercucur keringat dan air mata membesarkannya.
“Dio! Bagaimana menurut kamu dengan masalah yang saat ini kuhadapi? Jika disuruh memilih, yang manakah seharusnya aku pilih?” Vira mencoba mencari jawaban atau pendapat pada Dio.
“Berat juga, ya, Vir. Tapi, menurutku ini adalah pilihan yang tidak bisa ditentukan oleh orang lain kecuali diri kamu sendiri. Saranku, sih, kamu ikutin kata hatimu aja, Vir. Mana pun yang kamu pilih, aku yakin itu adalah pilihan terbaik buat kamu,” jelas Dio, kemudian melemparkan sebuah senyum pada Vira, tetapi pasrah.
Agak pilu sebenarnya lelaki itu mendengar masalah yang kini dihadapi sahabatnya itu. Namun, hanya menjadi pendengar setialah yang bisa ia lakukan untuk gadis cantik itu. Tak ada yang lain.
“Aku ... ingin menangis, Yo! Tapi ... aku tidak tahu seharusnya aku menangis untuk siapa.” Air matanya tertahan lagi. “Bundaku sudah membesarkan aku sampai saat ini. Dan ibu kandungku telah melahirkanku. Siapa yang harus kupilih? Sedangkan, jika tidak karena mereka berdua, aku mungkin tidak akan berhasil bertahan hidup sampai sebesar ini.”
“Nangis aja, Vir. Jangan menahan air mata kamu. Jangan pikirkan untuk siapa air matamu. Menangis tetaplah menangis. Itu juga dibutuhkan untuk sesaat, ketika bibirmu sudah tidak sanggup lagi mengungkapkan kesedihanmu.” Dio melangkah menuju gadis malang itu. “Menangislah, Vir!” lanjutnya, sembari mendekap Vira dengan hangat.
Tangis Vira akhirnya tumpah. Ia menyembunyikan wajahnya dalam dekapan lelaki bertubuh tinggi itu.
Mentari senja, indah, mengiringi tangis Vira, seakan memberitahu bahwa masih ada sedikit asa di dalam kalbu.
***
“Asaalamu’alaikum!”
Terdengar sebuah suara dan ketukan pintu di ruang tamu. Vira yang masih di dalam kamar sudah bisa menebak siapa yang datang.
“Wa’alaikumsalam!” ucap sang bunda dan ayah seraya membuka pintu ruang tamu. “Silakan. Masuk, Bu, Pak!”
“Terima kasih.”
Seorang pria berkumis, berusia sekitar 40 tahun bersama dengan istrinya, masuk dan segera duduk di sofa pada ruang tamu.
“Sebentar, Pak, Bu, saya panggilkan Vira dulu.” Sang bunda segera melangkah menuju kamar Vira. Sementara itu, sang ayah menemani kedua tamu.
“Vira! Nak! Keluar, Nak,” ujar sang bunda, sembari mengetuk pintu kamar Vira.
“Iya, Bunda. Bunda duluan aja,” balas Vira lembut seperti biasanya.
Vira tampak mempersiapkan diri. Menghela napas dalam, kemudian diembuskannya. Ia segera beranjak, keluar dari kamar, menuju ruang tamu.
“Nah! Ini dia Viranya, Bu, Pak!” seru bunda, seakan menyembunyikan kepiluannya.
“Wah! Vira sudah besar ternyata!” ujar wanita berkalung berlian, sembari menatap Vira penuh kerinduan. Vira segera duduk di antara ayah dan bundanya.
“Kami adalah orang tua kamu, Vira,” tegas pria berusia 40 tahun, melempar senyum untuk sang anak.
“Vira. Mulai hari ini, Vira tinggal sama Ayah dan Ibu, ya?”
“....” Vira membisu. Tak tahu apa yang harus ia katakan kepada ayah dan ibunya. Faktanya, ia tak benar-benar rindu kepada orang tua kandungnya. Mungkin, ia hanya ingin tahu apa alasan kedua orang tuanya itu telah begitu kejam membuangnya, hingga setelah dewasa kini, mereka mengaku sebagai orang tuanya.
“Bagaimana, Sayang?” tanya lagi wanita itu, memastikan.
“Sebelumnya, saya ingin tahu kenapa dulu saya tidak diinginkan dalam keluarga kalian,” tegas Vira, memandang tajam kepada kedua orang tua kandungnya.
Sang bunda, yang merupakan ibu angkatnya, tak mampu menahan air mata, sehingga kini tumpah membasahi pipi yang berbalut kulit keriputnya.
“Bukan seperti—”
“Lantas apa namanya? Atau jangan-jangan kalian telah membuang saya? Kemudian, ketika saya sudah dewasa kini, kalian mengaku-ngaku sebagai orang tua saya? Coba jelaskan apa alasannya?” Lagi-lagi gadis itu dengan tegas, dan menekan nada suaranya, meminta penjelasan pada kedua orang tua kandungnya.
“Vira! Jangan kasar sama ibumu!” bentak pria tua—ayah kandung Vira—melotot tajam.
“Kasar? Saya bertanya kepada Anda! Apakah itu artinya saya kasar?” Vira semakin meninggikan nada suara, hampir saja hilang kendali.
“Nak! Sudah, Nak! Jangan seperti itu. Bunda ikhlas menyerahkan kamu.” Tangis sang bunda menjadi-jadi.
“Ayah juga akan dengan ikhlas menyerahkan kamu, Nak. Kami bukan siapa-siapa kamu, Vira. Kami tidak berhak memiliki kamu,” timpal sang ayah, begitu memedihkan.
“Tidak! Bunda, Ayah. Yang seharusnya tidak berhak itu adalah mereka! Meski mereka adalah orang tua kandung Vira, tetapi mereka sudah lupa akan kewajiban mereka sebagai orang tua! Mereka hanya orang asing bagi Vira. Tidak lebih!” Vira terpekik, penuh emosi.
Pria dan wanita yang mengaku sebagai orang tua Vira itu pun terperangah akan perkataan anak kandungnya. Mereka tak bisa percaya. Tentu. Kemudian, sang ayah bangkit dari duduknya.
“Jaga omongan kamu, Vira!” Ayah kandung Vira mengangkat tangan, bersiap melayangkan tangan besarnya ke pipi gadis malang itu. Akan tetapi, sebelum tangan itu berhasil mendarat pada pipi si gadis malang, wanita berkalung berlian mampu menghentikannya, sembari menggeleng.
“Vira, Sayang!” ucap wanita itu lembut seraya meraih kedua pipi Vira. “Maafkan kami, Sayang. Kami sadar kesalahan kami. Terserah Vira mau ikut bersama kami atau tidak. Kami tidak akan memaksa. Vira sudah dewasa sekarang. Itu artinya, Vira sudah mampu menentukan pilihan Vira sendiri.”
Akhirnya, si gadis malang—Vira—menangis tersedu-sedu dalam pelukan kedua orang tua kandungnya.
“Vira memang rindu pada kalian berdua, Ibu, Ayah. Tetapi, maafkan Vira, berikan Vira waktu, Yah, Ibu. Vira masih ingin menghabiskan waktu Vira bersama Ayah dan Bunda Vira di sini,” ungkapnya, sembari menangis meluapkan kesedihan dan dukanya.
Pria tua yang terkesan begitu tegas itu pun pada akhirnya ikut menangis, tak dapat menahan gejolak kesedihan akan penyesalan kepada anak semata wayangnya, Vira.
‘Oh, Tuhan. Terima kasih sudah memberikan kami setitik asa, sehingga akhirnya diakui oleh anak kami saja rasanya sudah sangat membahagiakan,’ batin ibu, penuh rasa syukur.
“Terima kasih, Sayang. Terima kasih, terima kasih ...,” ucap kedua orang tua Vira, masih dengan air mata yang mengalir deras.
***
Tentang Penulis
Imron Rosyadi yang bernama pena Momoy adalah seorang penulis sekaligus pemimpin redaksi di sebuah penerbit. Penulis yang terkenal dengan karya bukunya berjudul Paradoks Waktu ini mulai menulis di usia 15 tahun. Sampai saat ini, penulis sudah melahirkan 3 buku cetak dan beberapa ebook. Menulis karya dalam berbagai genre, termasuk fantasi dan horor, dan terutama romansa.Kritik dan saran ke penulis melalui akun media sosial:Ig: @momoy_official_