Cerpen Sedih Tentang Kerasnya Hidup Berjudul Masih Adakah?

Photo by Alvin Decena from Pexels


Judul: Masih Adakah?
Penulis: Momoy

“Maaf, kami tidak menerima orang yang tidak berpendidikan!”

Lelaki berkumis tipis itu segera melangkah gontai ketika sebuah kalimat tajam sampai di telinganya. Dengan perasaan hancur ia melewati bangunan-bangunan pencakar langit di kota Jakarta.

‘Ah, seperti apakah orang yang berpendidikan itu? Apakah harus sekolah dulu agar seseorang dikatakan berpendidikan?’ batin pria berusia 22 tahun itu sembari terus melangkah.

Terik mentari semakin menyengat. Pria bernama lengkap Andi Siswono mulai letih, kemudian singgah sejenak di sebuah warung untuk membeli segelas es teh manis.

“Es teh manisnya satu dong, Bu,” ujar Andi, lalu terduduk mengempaskan rasa lelahnya pada bangku yang disediakan.

Ya. Hidup tidak melulu tentang cinta dan cinta. Ribuan bahkan jutaan orang sibuk dengan masalah cinta dan romansa mereka. Namun, tidak dengan Andi. Hanya demi mendapatkan pekerjaan tetap, ia dengan ikhlas berpanas-panasan berkeliling di kota besar ini. Meski sudah ratusan kali ditolak mentah-mentah, atau ribuan kali mendapat hinaan yang begitu telak memukul relung hatinya, ia tak gentar sedikit pun. ‘Ini adalah hidup! Hidup adalah sesuatu yang mutlak untuk diperjuangkan!’. Seperti itulah prinsip hidupnya. Namun, sudah sekian kali ini ia dipermainkan oleh hidupnya sendiri.

Orang-orang besar berwibawa selalu mengaitkan pekerjaan dengan dasar pendidikan mereka, tetapi selalu lupa dengan keahlian masing-masing individu. Toh, tidak bersekolah juga bukan kemauan pria kurus itu, tetapi keadaan dan takdir Tuhan sudah berkata demikian, maka ia tak dapat berbuat apa-apa.

“Silakan, es tehnya.” Bibi gemuk pemilik warung segera meletakkan segelas es teh manis segar. Andi yang sedang terbuai akan lamunannya, segera terseret seketika, kembali ke dunia nyata.

“Terima kasih, Bu,” ucap Andi sembari memahat senyum tipis.

“Ah, segar sudah!”

“Ini rapi-rapi kerja di mana, Mas?” tanya ibu pemilik warung bernama Fatimah kepada Andi.

“Tidak kerja di mana-mana, Bu. Saya malah sedang melamar pekerjaan.” jawab pria berkumis tipis seraya menatap kosong pada gelas yang tadinya berisi es teh manis.

“Terus bagaimana? Apakah diterima?” Bu Fatimah mulai menyelidiki.

“Tidak, Bu.” Andi menghela napas lelah. Namun, semburat senyum masih tergores tipis di wajahnya.

“Loh! Kenapa bisa begitu?” Bu Fatimah mulai seru.

“Yah, tidak heran, sih, Bu. Saya memang sudah berkali-kali ditolak oleh bermacam-macam perusahaan karena tidak memiliki dasar pendidikan alias tidak pernah bersekolah.”

“Jadi, begitu. Kalau menurut saya pribadi, sekolah itu juga tidak menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan. Contohnya, anak saya, dia adalah sarjana. Ya, walaupun tidak dapat gelar S1, sih, tapi setidaknya dia punya pendidikan, tapi pada akhirnya cuma mentok jadi security,” ungkap Bu Fatimah, sembari mengibas-ngibaskan tangan karena cuaca yang cukup panas.

“Yah, saya juga berpikir seperti itu, Bu. Meskipun saya tidak pernah bersekolah, tapi saya bisa membaca dan menulis. Bahkan, saya juga bisa memakai komputer seperti orang-orang kantoran.” Andi menghela napas. “Tetapi, inilah yang jadi masalahnya sekarang, Bu. Para pemimpin perusahaan-perusahaan besar itu selalu melihat pada secarik kertas yang menjadi tolok ukurnya. Padahal, kalau dites, saya akan dengan senang hati menunjukkan kemampuan saya, Bu,” lanjut pria kurus itu, mengungkapkan pendapat terpendamnya.

Apa yang diungkapkan oleh Andi memang masuk akal, setiap orang selalu menjadikan sekumpulan angka itu sebagai tolok ukur dalam dunia kerja. Akan tetapi, mereka lupa bahwa kemampuan setiap orang bisa berbeda-beda. Namun, inilah sebuah aturan. Setiap perkara harus memiliki aturan untuk dapat berjalan dengan baik. Meskipun yang baik terkadang bisa menjadi yang terburuk, dan yang buruk bisa menjadi yang terbaik. Ini hanyalah masalah sudut pandang.

Meski begitu, Andi tidak pernah menyalahkan siapa pun. Sesusah apa pun dirinya, ia selalu bersyukur dan tak pernah lupa untuk mengucapkan ‘alhamdulillah’ kepada Yang Kuasa. Ia sadar bahwa apa pun yang ia jalani adalah semata-mata karena kehendak Tuhan. Seperti air yang mengalir, entah sampai kapan ia akan menemukan muaranya, kemudian hidup selayak-layaknya.

***

Hari sudah mulai gelap. Andi masih berjalan terlunta-lunta. Sesekali tertunduk menatap langkah kakinya yang gontai. ‘Apakah saya sudah salah melangkah?’ tanyanya pada diri sendiri.
Setibanya ia pada sebuah rumah kumuh, yang terlihat biasa-biasa saja itu, ia segera mengempaskan tubuhnya yang letih pada lantai semen, tanpa beralaskan tikar. Ia menghela napas pasrah. Kedua matanya tersorot pada langit-langit rumahnya yang bolong.

‘Oh, Tuhan. Berikanlah hambaMu ini jalan yang terbaik.’

‘Oh, Tuhan. Entah sampai kapan hamba dapat bertahan dari pedihnya hidup ini.’

‘Oh, Tuhan. Masih adakah secercah harapan untukku?’

Kemudian, ia memejamkan kedua mata dan terlelap sampai malam tiba.

***

Keesokan harinya lagi, Andi siap berkeliling di kota seperti apa yang dilakukannya setiap hari. Tentu saja, untuk melamar pekerjaan di kota. Dengan kemeja lengan panjang berwarna putih, dan dasi yang melilit di lehernya, ia berjalan penuh semangat, seakan kepedihan di hari kemarin sudah terkubur jauh dalam memorinya. Meski tanpa membawa berkas apa pun, tetapi ia yakin bahwa Tuhan selalu adil.

“Secarik kertas bukan penentu masa depanku,” pikirnya.

Di sebuah persimpangan jalan, Andi berdiri tegap, menunggu ujung lalu lalangnya kendaraan-kendaraan yang melintas. Seperti biasanya di jalan utama menuju pusat kota, jalan ini selalu ramai di pagi hari. Maka dari itu, mungkin akan sangat membutuhkan waktu untuk dapat menyeberangi jalan.

Tak lama kemudian, seorang anak kecil tiba-tiba menyerobot posisinya untuk menyeberangi jalan. Tanpa memperhatikan sekitar, bocah yang tampaknya masih duduk di sekolah dasar itu berlari ke tengah jalan. Namun, sayang sebuah sedan putih melintas dengan kecepatan tinggi dari arah timur. Begitu sadar, Andi dengan cepat menyusul sang bocah, kemudian mendorongnya dengan keras sampai akhirnya tersungkur ke tepi jalan.

Pengorbanan Andi memang tak sia-sia, tetapi akibatnya mobil berhasil menabraknya, sehingga semua yang dilihatnya menjadi hitam pekat. Tanpa adanya cahaya. Setiap tatapannya kosong dan gelap. Ia tak berdaya, lalu tertelan ketidaksadaran.

“Cepat bawa dia ke UGD! Cepat! Dia butuh pertolongan!” pekik seorang wanita tua. Keningnya mengerut penuh kecemasan. Ia membekap mulutnya hingga meneteskan air mata.

***

‘Tuhan. Masih adakah cahaya untukku?’

‘Tuhan. Masih adalah secercah harapan untukku?’

‘Tuhan! Masih adakah rasa iba hamba-hambaMu untukku?’

Sebulan sudah lelaki kurus bernama Andi koma di rumah sakit akibat tragedi waktu itu. Andi merupakan lelaki kesepian. Artinya, ia hidup sebatang kara tanpa kedua orang tua di sisinya. Tidak. Mungkin ia lebih pantas disebut dengan yatim piatu. Sudah 10 tahun berlalu semenjak kedua orang tuanya meninggal akibat bencana alam di desanya. Ia merupakan salah satu dari segelintir orang yang selamat dari bencana gempa bumi berkekuatan 7,2 SR 10 tahun silam, yang memporak-porandakan desanya. Kedua orang tuanya dengan rela mengorbankan diri tertindih reruntuhan bangunan agar cahaya harapannya tetap hidup. Bahkan, walau ia sebatang kara, ia tak pernah menyalahkan hidupnya.

Seorang wanita tua berwajah sendu bergeming di samping ranjang ruang rawat inap Andi. Jika ia hidup sebatang kara, lalu siapa gerangan wanita tua itu? Kenyataannya, wanita berambut putih itu telah dengan rela mengorbankan setiap waktunya hanya untuk membesuk Andi.

Hening. Yang terdengar hanya suara elektrokardiogram—alat untuk mendeteksi detak jantung pasien. Namun, setelah beberapa menit berlalu, suara erangan samar-samar terlontar dari mulut Andi. Wanita tua itu sedikit terkejut, panik, dan memekik berulang kali memanggil dokter.

“Dok! Bagaimana keadaan anak ini?” tanya si wanita, masih dengan kerutan di dahi, cemas.

“Dia baik-baik saja. Tidak akan lama, sepertinya dia akan sadar,” jawab sang dokter penuh keyakinan.

Benar yang dikatakan dokter. Lelaki baik hati itu membuka mata untuk pertama kalinya, setelah dalam sebulan penuh tidak sadarkan diri. Ia mulai berusaha menggerakkan tubuhnya. Tatap matanya penuh rasa ingin tahu. Sementara itu, wanita tua mengelus dada, seakan keresahannya selama ini telah binasa tak tersisa. Ia tersenyum.

“S-saya ... di mana? S-saya ... kenapa?”

Adalah hal yang biasa jika pertanyaan itu terlontar dari mulut Andi. Dengan lembut, wanita tua itu menjawab, “Kamu ada di rumah sakit, Nak. Sebulan yang lalu kamu terlibat kecelakaan.”

Si wanita tua kemudian terduduk kembali. Menghela napas, tampak seperti mempersiapkan diri.

“Saya minta maaf,” ucap wanita itu dengan lirih.

“K-kenapa?”

“Kamu kecelakaan karena menyelamatkan cucu saya. Saya mohon maaf,” ucapnya lagi. Setitik air mata telah menggantung di maniknya.

“Tidak apa-apa. Saya ikhlas dengan bermaksud menolong.” Andi menghela napas, masih begitu berat. “Saya juga tidak mengerti. Tubuh saya tiba-tiba bergerak ingin menolong anak itu.”

“Hatimu sungguh mulia, Nak. Sekali lagi, maafkan saya. Sebagai rasa terima kasih, kamu bisa minta apa pun dari saya.”

“Tidak perlu dipikirkan. Mengetahui bahwa saya masih hidup saja, sudah membuat saya begitu bahagia, Bu.” Andi benar-benar tulus mengucapkan kalimat tersebut. Bahkan ia menampilkan senyum syukurnya.

“Terima kasih, Nak.” Wanita tua itu tersenyum haru. “Bagaimana kalau kamu bekerja di perusahaan saya? Kamu belum bekerja di mana-mana, kan?”

“Bagaimana Anda bisa tahu kalau—”

“Saya sudah mencari tahu tentangmu, Nak. Orang-orang di kampungmu yang menuturi saya. Hati saya sangat tersentuh atas tekadmu yang tidak pernah menyerah itu. Karenanya, sebagai permohonan maaf, dan juga rasa terima kasih, apa kamu mau bekerja di perusahaan saya?”

“T-tapi ... saya tidak mau Anda pekerjakan jika hanya karena rasa kasihan kepada saya.”

“Lalu, saya harus bagaimana, Nak?”

“S-saya ingin menunjukkan kepada Anda keahlian saya. Saya ingin diterima sesuai keahlian saya. Saya hanya ingin membuktikan kepada diri saya sendiri bahwa saya mampu,” jelas Andi. Meskipun mungkin rasa sakit ia derita, tetapi kini ia dipenuhi dengan bara api yang berkobar-kobar memenuhi jiwanya.

***

Beberapa minggu telah berlalu. Andi, si lelaki kurus berkumis tipis, ia kini bekerja di sebuah perusahaan besar milik wanita bernama Yuni. Andi diangkat sebagai seorang bendahara perusahaan karena dipercaya memiliki hati yang mulia. Memang tidak terpungkiri bahwa ia tidak pernah bersekolah, tetapi ia merupakan lelaki pintar yang semasa hidupnya hanya digunakan untuk belajar dan menambah wawasan seorang diri. Karena itu, Yuni memberikan tanggung jawab besar kepadanya.

Biarpun begitu, ia masih yakin bahwa cobaan Tuhan tidak selalu yang buruk-buruk. Akan tetapi, yang nikmat-nikmat justru adalah ujian terbesar dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Kini, Andi telah mendapatkan hidup yang sepantasnya. Ia berhak mendapatkan hidup layak ini, sebab tidak sedikit pengorbanan yang telah ia lakukan. Dengan bekal keteguhan hati, ia bisa bertahan hidup di dunia yang fana ini.

‘Lalu, masih adakah secercah harapan untukku?’

Tentu saja, masih banyak sekali harapan-harapan itu. Jika harapan sudah tak ada, maka ciptakanlah harapan itu sendiri. Tanamlah pohon asa. Jangan menyerah untuk selalu menyiraminya dengan beningnya air tekadmu.

***

Tentang Penulis

Imron Rosyadi yang bernama pena Momoy adalah seorang penulis sekaligus pemimpin redaksi di sebuah penerbit. Penulis yang terkenal dengan karya bukunya berjudul Paradoks Waktu ini mulai menulis di usia 15 tahun. Sampai saat ini, penulis sudah melahirkan 3 buku cetak dan beberapa ebook. Menulis karya dalam berbagai genre, termasuk fantasi dan horor, dan terutama romansa.
Kritik dan saran ke penulis melalui akun media sosial:
Ig: @momoy_official_

Marion D'rossi

Marion D’rossi, lahir pada 1 Januari 1995, adalah seorang penulis yang sejak kecil memiliki kecintaan mendalam terhadap dunia sastra. Ia telah menelurkan karya-karya dalam berbagai genre, mulai dari drama hingga petualangan, tetapi genre favoritnya adalah Thriller dan Fantasi, yang memungkinkan imajinasinya berkembang tanpa batas. Marion percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menginspirasi, menghibur, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh kejutan. Selain menulis, Marion juga berperan sebagai Manajer IT di MS Stories, sebuah platform modern yang menghubungkan penulis dan pembaca melalui novel digital. Di tengah kesibukannya, ia tetap menyempatkan waktu untuk mengasah keterampilan menulis, berinteraksi dengan komunitas sastra, dan membangun dunia imajinatif yang memikat. Bagi Marion, menulis bukan hanya profesi, tetapi juga cara untuk meninggalkan jejak dalam perjalanan hidup.

Posting Komentar

Bijaklah dalam berkomentar. Gunakan kata-kata yang sopan karena kita adalah bangsa yang beradab.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak