Judul: Mutiara Air Mata
Penulis: Momoy
“Hidup bukan untuk disia-siakan. Hidup itu untuk diperjuangkan. Sesulit apa pun Tuhan memberikan ujian, maka jalanilah dengan tegar. Jika kamu sudah tidak mampu, maka berdoalah dan minta pertolongan pada Tuhanmu.”
Ketika pikiranku menerawang masa lampau, kata-kata itu selalu teringat di dalam pikirku. Seakan terukir di hati dan pikiranku. Itu merupakan pesan terakhir almarhum ayahku dulu. Sosok beliau yang selalu bekerja keras demi mendapatkan sesuap nasi setiap harinya sudah seperti pahlawan bagiku. Walau tak selalu bisa makan setiap harinya, tetapi dengan kehadirannya saja sudah membuatku merasa kenyang. Senyum di dalam penderitaannya membuatku selalu tenang. Meskipun akhirnya aku selalu menangis ketika gambaran senyum itu selalu hadir di setiap mimpi-mimpiku. Tak pernah sekali pun kulihat kesedihan terukir di wajahnya. Yang ada hanya helaan napas lega karena bisa melihatku baik-baik saja.
Namun, semua itu kini sudah sirna. Yang tersisa hanya kenangan semata dan gambaran-gambaran senyum darinya yang selalu menemani malamku. Semenjak beliau sudah tidak ada lagi dunia ini, maka aku melanjutkan perjuangannya. Aku mengurus ibuku yang sakit-sakitan. Demi untuk sebuah pil guna meringankan rasa sakit ibuku, aku rela harus bekerja setiap hari. Meskipun akhirnya aku tak dapat makan dan merasakan kehidupan normal, tapi mau bagaimanapun juga, aku tetaplah setitik harapan bagi ibuku.
Percikan sinar matahari pagi itu membangunkanku dari tidur. Ketika kubuka kedua mata, ternyata aku berada di bekas bangunan itu lagi.
“Aku ketiduran lagi di tempat ini,” batinku. Aku beranjak dan segera pergi. Dan harus mengumpulkan beberapa plastik dan barang-barang bekas. Ibuku pasti sudah menunggu kehadiranku.
Apalagi, obat yang seminggu lalu kubelikan untuknya, sudah semakin sedikit.
Sambil membawa sebuah karung berisikan plastik-plastik bekas, aku berjalan gontai. Mungkin karena efek kelelahan. Badanku terasa pegal-pegal. Pun kepalaku memang terasa sedikit pusing. Namun, seperti biasa aku pergi ke daerah pertokoan di kota demi mengorek beberapa tempat sampah untuk mendapatkan plastik-plastik bekas.
Kota dipenuhi dengan orang-orang dan kesibukan mereka masing-masing. Segerombolan remaja dan anak-anak memakai seragam sekolah. Hal yang wajar bila kupandangi mereka yang bahagia tersenyum simpul, mengenakan seragam sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Tak terpungkiri karena aku menginginkan hidup semacam itu. Berangkat sekolah bersama teman-teman. Mengunjungi rumah teman untuk mengerjakan tugas. Dimarahi guru karena telat. Aku menginginkannya. Jika aku bersekolah dengan usiaku yang 12 tahun ini, mungkin aku sudah duduk di bangku SMP. Namun, semenjak saat itu, keinginan tersebut telah kukubur dalam-dalam di benakku.
“Eh! Jangan sembarang mulung di sini!” Salah satu pemilik toko terpekik seraya mengibas tangan, berusaha mengusirku.
“Ma-maaf, Pak,” kataku pelan, kemudian segera pergi.
Hal itu sudah bukan hal yang baru lagi. Sudah sering kali aku dimarahi oleh para pemilik-pemilik toko. Mau bagaimana lagi? Ini adalah pekerjaanku. Mau tidak mau, aku harus melakukannya.
Acap kali aku merasa bahwa Tuhan tidak adil. Tatkala pikiran itu meracuni, bayangan dan kalimat-kalimat bijak ayahku selalu mengusirnya.
“Oh, Tuhan. Maafkan aku atas dosa-dosaku.”
Plastik bekas yang kukumpulkan sudah cukup banyak. Aku pun segera pergi ke tempat penjualan. Setelah ditimbang, ternyata hanya bernilai 25.000. Dan itu artinya, aku hanya mendapatkan 10 kg plastik hari ini. Satu kilogram plastik bekas hanya bernilai 2.500. Walau terbilang sangat rendah, tetapi bagiku itu sudah cukup untuk sarapan ibuku pagi ini. Aku segera membeli dua nasi bungkus, kemudian membawanya pulang. Tentu saja, aku juga memahat sebuah senyum simpul untuk ibuku.
“Assalamualaikum, Bu.”
Aku memasuki rumah.
“Kamu sudah pulang, Nak?” Ibuku beranjak dari tempat tidur.
“Iya, Bu. Ini aku bawa sarapan untuk Ibu.” Kuberikan sebungkus nasi pada sang ibu.
“Terima kasih, Alfan. Kamu sudah sarapan, Nak?” tanya ibuku seraya meletakkan sebungkus nasi yang kuberi padanya di atas meja.
“Belum. Alfan mau sarapan bareng Ibu.”
“Ya, sudah. Yuk, berdoa dulu sebelum makan!” kata ibuku terbatuk-batuk.
“Iya, Bu,” aku pun segera duduk di ranjang, di samping sang ibu.
Ibuku mengangkat tangan. Berdoa.
“Amin!”
“Tunggu sebentar, Bu. Alfan ambilkan piring sama sendok dulu,” aku melangkah menuju dapur.
“Uhuk, uhuk, uhuk!”
Terdengar bunyi batuk ibuku. Sejenak aku terdiam di dapur. Kuratapi lagi kehidupan kami yang serba kekurangan. Menurut Pak Ahmad, salah satu tetangga kami, ibuku terkena penyakit TBC. Jika tak dioperasi, maka penyakitnya tidak akan bisa sembuh. Bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi ibuku, sedangkan hasil dari mulung saja sudah syukur bisa membantuku mendapat sesuap nasi. Karena ketidakberdayaanku inilah, aku hanya bisa memohon dan memanjatkan doa pada Sang Pencipta.
“Alfan. Uhuk, uhuk,” panggil ibuku sambil terbatuk-batuk.
“Iya, Bu. Tunggu bentar,” aku menemui sang ibu sambil membawa piring dan sendok. “Nah, ayo kita sarapan, Bu,” kataku kemudian.
“Kamu pasti capek, ya, Nak. Hari ini kamu istirahat saja. Tidak baik memaksa diri kamu bekerja,” saran ibuku, seraya menyendok nasi.
“Ibu tidak usah khawatir. Alfan baik-baik aja. Alfan masih kuat, kok,” aku melemparkan sebuah senyuman pada sang ibu kemudian.
“Terima kasih, Nak. Ibu tidak tahu lagi harus bersyukur seperti apa karena punya anak seperti kamu.” Raut wajah ibuku berubah. Sendu. Ia menahan kesedihannya. Atau mungkin justru rasa harunya.
“Tidak usah sedih, Bu. Alfan janji, Ibu pasti akan sembuh. Percaya sama Alfan, deh.”
“Iya, Nak. Tapi, maafkan Ibu yang tidak bisa menjalani tugas Ibu sebagai orang tua.”
“Jangan bilang begitu, Ibu. Sudah cukup. Ibu melahirkan Alfan ke dunia ini saja itu sudah cukup. Mengandung Alfan dalam waktu 9 bulan itu sudah sangat membebani Ibu. Jadi, sekarang giliran Alfan yang akan melakukan tugas Alfan sebagai seorang anak yang berbakti pada ibunya.”
Sosok wanita penerang bagiku itu pun meneteskan air mata. Beliau terisak tangis dan kesedihan yang begitu dalam. Tidak. Aku tidak ingin ibuku menangis. Karena bagiku, air matanya adalah mutiara berharga yang tak boleh terbuang sia-sia. Mutiara itu hanya miliknya seorang. Dan aku tak akan membiarkannya terbuang sia-sia.
***
Langit mendung sore itu. Kilatan halilintar sesekali menyambar. Angin mulai mengamuk. Menerbangkan setitik demi setitik semangatku. Aku masih berjalan dengan kaki kecilku. Langkah demi langkah. Sekarung plastik bekas yang kuseret sesekali tertarik sang angin. Namun, kulawan arus angin dan terus berjalan. Tidak. Jangan renggut setitik harapanku. Hanya ini yang bisa aku lakukan daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali.
Mentari sore itu pun sepenuhnya tertutup kegelapan. Kuhentikan langkah kecilku. Kumenengadah menatap sang langit. Setitik air jatuh di pipi. Setitik. Setitik. Kemudian lebat mengguyur bumi sepenuhnya.
Kupercepat langkah. Kedua mataku sibuk mencari tempat yang teduh. Tidak. Hujan semakin deras. Aku sudah basah kuyub. Di sudut pertokoan, masih tersedia tempat. Lari. Kuempaskan rasa letih. Aku terduduk di depan sebuah toko yang sedang tutup.
Pikiranku tak tenang. Ibuku. Pasti beliau kedinginan. Pasti atap rumahku banyak yang bocor. Walau sekadar rumah kumuh, aku tetap bersyukur masih memiliki rumah. Ketika pikiranku bergentayangan, dipenuhi bayang-bayang ibuku, sebuah kilatan yang kemudian diikuti oleh gemuruh mengejutkanku.
Aku tersadar. Kulihat sekeliling. Tiba-tiba sudah ada seorang wanita paruh baya yang sedang berteduh. Sesekali ia menggigil kedinginan. Kupandangi wanita itu. Ia mengenakan atasan putih, berkacamata. Kulirikkan mata pada pakaiannya. Sebuah tanda pengenal mengalung di lehernya. Tak dapat kubaca. Aku buta akan huruf.
“Ada apa, Dik?” tanya wanita itu tiba-tiba.
“Ma-maaf. Tidak apa-apa,” balasku, kemudian mengalihkan pandangan.
“Kamu kenapa bisa basah kuyub begitu?”
“Saya kira hujannya tidak lebat. Saat sedang sibuk mencari plastik, tahu-tahu hujannya sudah lebat,” aku meremas erat ujung karung yang sedang kupegang.
“Oh, jadi begitu. Omong-omong, apa rumahmu di sekitar sini?”
“Tidak. Saya tinggal di desa, Bu. Kawasan kumuh yang lumayan jauh dari sini.”
“Kalau tidak cepat-cepat ganti baju, kamu bisa sakit, lho!” katanya bernada peringatan.
Aku terdiam sambil terus memandangi langit yang tak kunjung cerah. Hujan semakin lebat. Udara semakin dingin. Pikiranku lagi-lagi terbayang sang ibu. Tanpa pikir panjang, aku segera bangkit, kemudian berjalan melawan derasnya hujan.
“Dik! Kamu mau ke mana? Hujannya masih lebat!” Wanita paruh baya itu terpekik. Tak kuhiraukan.
Aku terus berjalan. Aku sudah tak tahan. Ingin memastikan ibuku baik-baik saja.
Kupercepat langkah. Sekarung plastik bekas yang kubawa semakin berat, tetapi tak menghentikanku.
“Ibu!”
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Sang ibu menyadari kepulanganku.
“Ibu? Ibu baik-baik aja, kan?”
“Uhuk! Uhuk! Uhuk! Ibu tidak ... uhuk!” Ibuku tersengal. Semakin menjadi. Tampaknya beliau kedinginan.
“Ibu! Ayo, minum dulu, Bu!” kataku seraya mengambil segelas minuman di atas meja dekat ranjang.
“Kamu tidak perlu khawatir, Nak. Ibu baik-baik saja,” balas ibuku kemudian meneguk segelas air yang kuberikan.
“Tapi... tapi... Ibu kedinginan.”
“Kan sedang hujan, Nak. Wajar saja kalau Ibu kedinginan,” balas ibuku dengan helaan napasnya yang begitu berat. “Kamu basah kuyub, Nak. Ayo, ganti baju dulu! Nanti kamu sakit,” lanjutnya penuh perhatian.
“Jangan khawatirkan Alfan, Bu. Maafin Alfan, Bu. Alfan belum bisa membiayai Ibu untuk operasi,” aku menitikkan air mata. Aku dilanda kepedihan itu lagi. Perasaan itu datang lagi. Perasaan yang teramat pedih seakan menyayat hati.
“Jangan pikirkan itu, Nak. Ibu tidak pernah memaksa kamu. Sudah, jangan menangis, Nak!”
“Tapi... tapi...”
“Ibu mengerti perasaan kamu, Nak. Tapi, coba ingat pesan ayahmu dulu. Beliau pernah berpesan kepada kita untuk tidak mengeluh atas keadaan. Jadilah anak yang tegar, Alfian. Anak seperti kamu di dunia ini ada satu berbanding seribu. Ingat, Nak! Air matamu adalah mutiaramu.”
“Ibu. Apakah kita tidak pantas mendapat kebahagiaan?”
“Jangan berbicara seperti itu, Nak! Tuhan tahu apa yang terbaik bagi hambanya. Sudah, hentikan air matamu, Nak! Belajarlah dari ayahmu. Ayahmu adalah sosok yang tegar. Ia tak pernah menangis. Ia selalu sabar dan terus berusaha untuk mencukupi kebutuhan kita. Menangislah di saat kamu sudah benar-benar kehilangan arah dan tak tahu bagaimana untuk kembali,” jelas ibuku sembari tersenyum penuh makna.
Aku segera menghentikan tangisku. Benar apa kata ibuku. Aku tidak boleh menyalahkan takdir yang sudah ditentukan Tuhan untukku. Aku tidak boleh membuang-buang air mataku di saat aku belum benar-benar kehilangan arah. Masih banyak jalan yang belum coba kutempuh. Masih banyak rintangan-rintangan lain menunggu di depan. Masih banyak penderitaan-penderitaan yang akan menghampiri. Karena aku yakin bahwa Tuhan Maha Segalanya.
Hujan lebat itu sudah reda bersamaan dengan berakhirnya tangisku. Aku masih terisak walau tak meneteskan air mata.
“Sini, Nak! Tidur di samping Ibu,” perintah ibuku tersenyum hangat. Kuanggukkan kepala tanda setuju. Aku segera berbaring di samping Beliau. Hangat ketika kupasrahkan diriku berada dipeluknya. Kasih sayangnya yang tak terhingga. Hangat seperti percikan mentari di pagi hari. Sejuk seperti embun di pagi hari. Dan Indah terasa seperti singgasana taman langit. Sehingga akhirnya, kehangatan, kesejukan, dan keindahan itu membuatku terlelap dan bermimpi akan indahnya senyuman kedua orang tuaku. Aku tak perduli! Meski penyakit ibuku adalah penyakit menular, aku tak perduli! Ini semua demi kehangatan yang menenangkan jiwaku.
Beberapa saat, ketukan sebuah pintu membangunkanku.
‘Tok! Tok! Tok! Assalamualaikum..’.
Kubuka kedua mataku. Aku segera beranjak. Pelan. Tak bersuara. Aku tak ingin ibuku terusik dari mimpi indahnya. Kubuka pintu rumahku. Aku sedikit terkejut. Wanita itu lagi. Wanita paruh baya yang beberapa waktu lalu kutemui di daerah pertokoan.
“Loh, rumah kamu di sini ternyata?” wanita itu tampak terkejut.
“I-iya, Buk. Kalau boleh tahu ada apa, Buk?” tanyaku sedikit heran.
“Jadi begini, Dik. Saya adalah seorang dokter. Saya sedang melaksanakan sebuah program untuk membantu warga yang membutuhkan pengobatan. Di sini? Apa Adik tinggal sendirian di sini?” tanya wanita paruh baya itu, memastikan.
“Jadi, orang yang sakit bisa berobat secara gratis, Buk?!” tanyaku seru.
“Iya, Dik. Apa di sini ada yang sakit?”
“I-ibuku sedang sakit,” jawabku lirih, sambil tertunduk lesu.
“Boleh saya tahu penyakit ibumu?”
“Kata tetangga, ibuku sakit TBC, Buk.”
“Astaga! Kalau begitu, kita harus segera memeriksa keadaan ibu kamu sebelum terlambat, Nak!” ujar wanita tersebut.
“Tapi... saya... saya tidak punya uang untuk membiayai operasi ibu saya.”
“Sudah. Kamu tenang aja ya, Dik. Ibu akan membantu ibu kamu sesegera mungkin. Untuk sekarang, apa saya bisa masuk dan melihat keadaan ibu kamu?” pintanya seraya, menatap ke dalam rumahku yang kumuh.
“Iya, silahkan!”
Begitulah. Setelah ibuku diperiksa oleh Dokter Sinta, Beliau segera dibawa ke rumah sakit kota. Semua berkas yang tak kumengerti diurus oleh Dokter Sinta. Aku menunggu hasil operasi ibuku dengan sabar. Harapanku agar ibuku bisa sehat dan terus melanjutkan hidupnya seperti sedia kala. Dan setelah beberapa bulan kemudian, harapan itu terwujud. Senyum itu dapat kulihat lagi. Walau pedih tanpa senyum sang ayah, setidaknya aku pernah merasakan kasih sayang nyata darinya.
Tidak cukup sampai di situ. Keinginanku yang selalu ingin sekolah pun terwujud sudah. Aku mendapat bantuan karena Dokter Sinta selalu mendukungku. Dokter Sinta ternyata adalah salah satu bagian dari lembaga pemerintah yang juga berperan penting dalam program membantu orang-orang yang tidak mampu sepertiku. Aku bersyukur. Aku tak lagi terbalut kepedihan. Aku tak lagi meneteskan air mata. Ibuku tak lagi harus meneteskan air mata. Kini, aku sudah siap melangkah menuju jalan-jalan penderitaan lainnya.
Mutiara milik ibuku kini mungkin akan selalu tersimpan sampai suatu saat nanti kami menemukan jalan buntu dan tak tahu arah untuk kembali. Aku juga yakin pada satu hal bahwa ayahku pun pasti tersenyum di alam sana. Aku yakin bahwa Beliau baik-baik saja di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Tunggu saja, aku akan membuat ayah dan ibuku bangga padaku. Tiada yang lebih penting dari membanggakan mereka. Tiada yang lebih indah dari melihat senyum mereka. Kini, aku tak lagi menatap langit yang hijau.
***
Tentang Penulis
Imron Rosyadi yang bernama pena Momoy adalah seorang penulis sekaligus pemimpin redaksi di sebuah penerbit. Penulis yang terkenal dengan karya bukunya berjudul Paradoks Waktu ini mulai menulis di usia 15 tahun. Sampai saat ini, penulis sudah melahirkan 3 buku cetak dan beberapa ebook. Menulis karya dalam berbagai genre, termasuk fantasi dan horor, dan terutama romansa.Kritik dan saran ke penulis melalui akun media sosial:Ig: @momoy_official_