Judul: Aku Ingin Menyentuhmu
Penulis: Momoy
POV PRIA
Kau berbaring malas di tempat tidur dengan kaki telentang saat aku menatapmu dari balik pintu. Rok selutut yang kau gunakan terlipat ke atas sehingga dapat kulihat paha putih mulusmu yang cemerlang tanpa noda ataupun bercak.
Kau menarik napas panjang setelah beberapa menit beradu pandang dengan benda pipih yang kau sebut ponsel pintar. Sesekali kulihat kau tersenyum, bahkan terbahak ketika saatnya. Aku tidak tahu apa yang membuatmu begitu bahagia, bahkan kedua sudut bibirmu terus terangkat tanpa henti.
Kau tahu? Aku sangat ingin menyentuhmu. Aku ingin meraba kulit cerahmu, setiap bagian tubuhmu. Aku ingin memiliki napasmu. Ingin aku melumat habis bibir meronamu, serta tidak akan kulepas hingga lelap.
Namun, aku tidak bisa--tidak--aku tidak mampu.
Aku ingin kau tahu bahwa rasa yang selalu ada untukmu ini tidak akan pudar meski kecelakaan beberapa hari lalu telah merenggut hidupku. Cintaku padamu tak mengenal hidup dan mati. Aku hanya tahu bahwa aku bisa memberimu sayang. Akan tetapi, aku sadar bahwa kau bukan kasihku. Kau tak pernah memberi kasih untukku.
Aku terpuruk, hanya bisa melihatmu. Aku cemburu, dan ingin sekali aku perlihatkan rasa cemburu ini padamu. Namun, tentu saja kau tidak akan bisa menyaksikan raut kesalku.
Siapa dia? Seseorang di balik layar ponsel itu tampaknya telah membutakan mata hatimu. Padahal aku yang ada saja tidak pernah kau gubris ketika saling bertemu, dulu.
Aku ingat dulu saat pertama kali kita bertegur sapa. Kau tersenyum sambil mengatakan "hai" padaku. Dan bodohnya aku telah terpana oleh tatapmu.
Aku menghentikan langkah, kemudian melihatmu yang terus berjalan menyusuri koridor kampus. Sebenarnya aku sangat berharap kau berhenti, kemudian kembali menatap ke arahku. Namun, sungguh hal itu tidak akan mungkin terjadi.
Esoknya, aku bertemu denganmu lagi, tetapi kau tidak sendiri. Kau bersama seorang pria yang kuakui jauh lebih tampan dan rapi dariku. Aku berpikir saat itu, "Oh, jadi pria seperti dia adalah tipemu?"
Tentu saja, perasaan cemburu kali pertama menghampiri hati. Aku sesak.
Setelah beberapa minggu berlalu, aku memberanikan diri untuk terus menyapa kala kita saling berpapasan di kampus. Bahkan, aku sengaja mencari keberadaanmu, lalu berjalan dari arah yang berlawanan denganmu hanya untuk mendapatkan sapaan "hai" itu darimu.
Ya, aku sangat bahagia hanya karena bertegur sapa denganmu. Lalu, minggu-minggu selanjutnya aku memberanikan diri untuk mencoba menghentikan jejakmu.
"Eh, Neha. Punya waktu sebentar?" tanyaku kala itu.
Kau awali dengan senyum, kemudian menjawab, "Oh, ada. Memangnya ada perlu apa ya, Im? Ngomong aja lagi."
Aku menggosok tengkukku. Ini biasa aku lakukan ketika sedang gugup dan malu. "Hmm. Aku ... aku ...."
Tentu saja, sebaris kata yang akan aku ungkapkan merupakan upacara sakral yang sama sekali tidak pernah aku katakan kepada siapa pun. Ya, kau Neha, cinta pertamaku pada pandangan pertama pula.
"Aku ... suka sama kamu, Neha. Kira-kira ... kamu mau nggak ya jadi--"
Kau potong kalimatku dengan helaan napas gusar. Kau mendengkus kasar sehingga menciptakan pikiran-pikiran negatif di kepala. Akhirnya, aku mengurungkan niat meski kau pun bisa menebak apa yang akan aku ucapkan itu.
"Hmm, maaf. Aku cuma latihan nembak cewek aja. Maaf, ya, maaf." Aku tercengir, lebih tepatnya hanya berpura-pura saja.
Setelah kau menjawab tidak keberatan dengan tingkah konyolku, maka aku bergegas pergi. Aku berlari, keluar dari kampus. Begitu malu diriku. Apa yang aku pikirkan?
Tanpa melihat kiri dan kanan, aku menyeberangi jalanan di depan kampus. Ya, meski kutahu bahwa saat itu kendaraan begitu ramai berlalu-lalang.
Setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya merasa tubuhku terbentur oleh sesuatu yang keras sehingga membuat kesadaranku terlepas. Pandanganku menghitam, kemudian pekat menyelimuti.
Dan sekarang, di sinilah aku yang mencoba menyentuhmu dengan segala upaya, tetapi sia-sia. Aku pun sadar, aku hanya hantu penasaran sebab perasaan yang sempat ingin kusampaikan padamu dulu kuurungkan mengatakannya.
Dari semua kenyataan bahwa diriku hanya hantu ini, ada yang lebih membuatku merasa terluka dan menyesal dengan amat sangat. Kau tiba-tiba menangis. Ya, matamu masih beradu pandang dengan ponsel pintar putihmu.
Aku beranjak karena penasaran. Hal apa yang membuatmu menangis? Hentikan! Tangismu hanya membuat luka baru di hatiku.
Setelah aku berada tepat di atas kepalamu, di layar ponsel itu terpampang sebuah foto. Seorang lelaki dengan tas hitam di punggung. Rambutnya yang panjang disisir rapi, serta mengenakan kaos berwarna biru muda.
Mengapa kau tidak mengatakannya?
Kenapa saat itu kau langsung mendengkus kasar seakan terganggu dengan pernyataan cintaku?
Kenapa matamu berpaling dari tatapku?
Dan di antara semua pertanyaan itu, pertanyaan yang lebih membuatku merasakan perih yang teramat ialah, kenapa tidak kau katakan bahwa kau juga mencintaku?
POV WANITA
Hai, pemuda berambut panjang! Apa yang kau inginkan dariku? Ketika kita saling berpapasan di kampus, matamu selalu tertahan pada hadirku. Apa yang membuatmu menatapku lamat dengan bola mata hitam milikmu?
Beberapa kali kita bertemu di koridor kampus, aku berusaha menjadi orang lain lantas menyapamu hanya dengan kata "hai". Kau merupakan seorang mahasiswa pintar yang menjadi panutanku. Seorang pemuda yang rajin dan selalu mendapatkan penghargaan di kampus. Kau selalu saja membuatku termotivasi setiap kali memampang senyum kala pujian teman-teman yang lain mendarat di telingamu.
Saat itu, aku jadi ingin lebih akrab dengamu. Aku ingin berbagi kasih dan cerita hidup, entah sedih ataupun senang. Akan tetapi, sayangnya orang tuaku telah memilihkan seorang pemuda yang jauh lebih angkuh dari dirimu.
Aku tahu saat pria itu berbicara denganku, kau melihat ke arah kami. Aku tahu karena membuat bola mataku berada di sudut demi memastikan kau baik-baik saja. Dan aku lihat raut sedih di wajahmu yang seketika membuat hatiku hancur.
Ingin kukatakan padamu untuk tidak cemburu pada pria yang mengenakan setelan hitam di hadapanku ini. Namun, rasanya itu tidak mungkin kulakukan. Kau pasti tahu alasannya, sebab aku bukan siapa-siapa dirimu selain hanya pengagum rahasia.
Kulihat kau melenguh panjang lantas kecewa karena melihatku akrab dengan pria bernama Farel.
Beberapa hari setelahnya, kau mencoba akrab denganku. Kau sengaja mencari keberadaanku, kemudian berjalan dari arah berlawanan. Terus-menerus dalam beberapa hari, aku tetap melontarkan kata "hai" untukmu.
Apakah kau tahu? Kata "hai" itu adalah sinyal untukmu agar kau berani mengekspresikan perasaan yang kau pendam selama ini. Sebab, aku tahu kau menyukaiku.
Beberapa minggu setelahnya, kau mulai berani menyapaku tanpa menyelipkan kata "hai" di dalamnya. Kau meminta waktu untuk bicara denganku.
Kita saling beradu pandang dalam sekian detik, tetapi lantas kau turunkan pandanganmu kemudian. Begitu pun denganku yang menahan malu. Aku sudah dapat menebak apa yang ingin kau katakan kala itu.
Sebelum mulai membuka mulut, kau menggosok tengkukmu. Mungkin itu semacam kebiasaan kala kau sedang gugup ataupun malu. Aku memahaminya. Kau ini unik, tidakkah kau merasa demikian? Lantas mengapa masih merasa kau bukan pria istimewa di hadapan orang lain?
"Aku ... suka sama kamu, Neha." Begitulah kiranya pernyataan cinta yang kau ucapkan dengan wajah malu-malu.
Aku bahagia. Hatiku berbunga-bunga kala kalimat sakral itu mencapai telinga mungilku. Akan tetapi, apa yang terjadi pada diriku yang kemudian berpikir bahwa kita tidak akan bisa bersama meskipun kau tetap memaksa untuk menjadi kekasihku.
Ya, aku telah dijodohkan dengan pria yang dianggap mapan oleh orang tuaku. Dan pria itu yang pernah kau lihat berbicara denganku.
"Kira-kira ... kamu mau nggak ya, jadi--"
Aku tanpa sengaja mendengkus kasar karena memikirkan hal-hal buruk jika kita pacaran nanti. Itulah mengapa kau langsung menghentikan pertanyaanmu untuk kita bisa menjalin hubungan dalam asmara.
Kau kemudian menyangkal kenyataan bahwa kau menyukaiku. "Hmm, maaf. Aku cuma latihan nembak cewek aja. Maaf, ya, maaf."
Begitu katamu lantas berlari sekuat tenaga membawa perih yang kau rasa. Ingin kuhentikan langkah cepatmu, tetapi sayang pria yang mengenakan setelan hitam itu datang menjemputku.
Beberapa waktu setelahnya, kenyataan perih secara dadakan menikam relungku. Sekeluarnya dari gerbang kampus bersama pria bernama Farel, kau dikabarkan tertabrak mobil sehingga membuatmu meregang nyawa.
Oh, Tuhan. Aku merasa tidak percaya bahwa pemuda yang berbaring lemah dengan darah bergelimang di seluruh tubuh itu adalah dirimu. Malang sekali nasibmu, Im. Teganya kau meninggalkanku dan terpuruk dalam sepi.
Dalam beberapa hari, aku mencoba untuk menghilangkan sedih yang menyelimuti diriku atas kematianmu. Dulu, aku sering mengambil video tentangmu. Bahkan mengambil gambar yang aku pikir sangat lucu bagi seorang pemuda pintar sepertimu.
Aku tertawa di kamar seorang diri, terbahak menyaksikan kelucuanmu yang hanya bisa dipahami oleh diriku seorang. Akan tetapi, ketika saatnya tiba, foto milikmu yang berwajah sendu dengan tas hitam yang menggantung di punggung membuat hatiku tercabik-cabik kembali. Perih. Aku meneteskan air mata.
Kau yang telah bertemu dengan Tuhan di alam sana, tidak akan bisa hidup kembali. Selamat tinggal, Imron, pria tampanku yang lugu.
--END--
Tentang Penulis
Imron Rosyadi yang bernama pena Momoy adalah seorang penulis sekaligus pemimpin redaksi di sebuah penerbit. Penulis yang terkenal dengan karya bukunya berjudul Paradoks Waktu ini mulai menulis di usia 15 tahun. Sampai saat ini, penulis sudah melahirkan 3 buku cetak dan beberapa ebook. Menulis karya dalam berbagai genre, termasuk fantasi dan horor, dan terutama romansa.Kritik dan saran ke penulis melalui akun media sosial:Ig: @momoy_official_