Idealisme dan Materialisme. Penulis Pilih yang Mana?


(Sumber: freepik.com)


Sebagian orang mungkin telah salah paham dengan tulisan saya sebelumnya yang menyinggung persoalan idealisme dan materialisme. Ada sedikit ketimpangan pemahaman atau pandangan pada cara berpikir saya (sebagai penulis) dengan yang membaca tulisan saya. Untuk meluruskan hal tersebut, maka saya perlu membuat tulisan secara terpisah agar ketimpangan-ketimpangan pandangan tersebut dapat diperbaiki.

Sebelum kita melangkah lebih jauh memutuskan antara idealisme atau materialisme, perlu kita pahami dulu arti kedua istilah tersebut. Dengan memahami pentingnya idealisme sebelum materialisme, tentu saja kita akan jauh lebih selamat dari jurang perdebatan yang sia-sia. Sehingga kita tidak terperosok pada perdebatan-perdebatan yang paradoksal.

Dalam dua tulisan saya sebelumnya, saya telah setidaknya menyinggung cara pikir idealis dan materialis, sedikitnya hanya sepertiga dari keseluruhan pemahaman tersebut. Bahwa saya berkata dalam tulisan tersebut, betapa pentingnya idealisme, tetapi materialisme juga tak kalah penting.

Idealisme, menurut Plato, berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa. Pandangan tersebut lebih menekankan hal-hal yang bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang bersifat materi dan fisik. Dalam kacamata filsafat pun idealisme sebagai aliran ilmu filsafat yang menganggap bahwa pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dipahami.

Dapat kita pahami sementara bahwa idealisme itu berkaitan dengan kerangka berpikir, ide, gagasan, pandangan dalam mencapai tujuan dengan konsep berpikir yang secara subyektif ideal.

Sementara itu, pengertian materialisme justru kebalikan dari idealisme. Hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi.

Sehingga dengan itu ditemukan sebuah kesimpulan, khususnya pada bidang kreatif yang kita berada di dalamnya, bahwa harus ada ide dulu, barulah materi tersebut dapat tercapai. Idealisme itu bersifat mentah sehingga perlu diolah dan ditempatkan dalam realitas sehingga menjadi materi atau barang jadi.

Nah, dari penjelasan di atas, sekarang kita juga dapat memahami bahwa kedua hal (idealisme dan materialisme) sama-sama penting, setidaknya dalam industri kreatif. Jika kamu adalah seorang penulis, tentu saja kamu harus mencari ide untuk tulisanmu (idealisme), sehingga kemudian mendapatkan materi atau tidak itu sepenuhnya keputusanmu. Meskipun ide atau gagasan telah ditemukan, lalu dikeluarkan menjadi realitas, terserah kamu apakah akan menguangkan ide-ide yang telah ditarik ke realitas tersebut atau tidak.

Uang di sini berperan sebagai material. Dan dalam dua tulisan saya sebelumnya, saya justru lebih menekankan material daripada idealisme. Material dapat tercapai jika kita memiliki idealisme, ide, atau gagasan.

Seorang penulis, wajib memiliki idealisme untuk menuangkan gagasan-gagasannya menjadi tulisan, entah dalam bentuk buku fisik atau digital. Sehingga ketika ide-ide tersebut telah dibungkus dalam berbagai bentuk, hasilnya adalah materialisme (hasil jerih payah si penulis).

Apakah salah mengikuti selera pasar? Tentu saja tidak salah. Mau mengikuti pasar atau tidak, idealisme akan tetap mengikuti. Karena agar tulisanmu laris di pasaran, kamu harus menguras keringat untuk mencari ide-ide (idealisme).

Apa pun yang kamu putuskan, itulah idealisme. Akan tetapi, idealisme ini tak berhenti hanya pada satu pijak pandang atau satu lingkar pandang. Masih ada sudut pandang, radius pandang, spektrum pandang, luas pandang, dan lain sebagainya. Sebab, idealisme banyak macamnya. Belum lagi kita harus menjawab banyak pertanyaan dari ide-ide yang kita hasilkan. Seperti misalnya, mengukur kualitas idealisme kita. Seberapa berkualitas idealisme kita? Tujuan dari idealisme kita itu apa? Apakah baik idealisme kita jika dikemukakan di hadapan umum? Dan seterusnya.

Dengan begitu, kita sudah memahami seberapa penting dua cara pandang tersebut. Sekarang kembali ke diri kamu sendiri. Menulis untuk dimaterialkan atau disimpan untuk diri sendiri. Kalau menurut saya, yang hidup di Negeri Katulistiwa karena segala sesuatu serba mahal akhir-akhir ini, keduanya (idealisme dan materialisme) sangat penting.

Kita jangan menyalahkan orang yang menomorsatukan uang dalam prinsip hidupnya. Mungkin dengan uang orang tersebut bisa menggerakkan kreativitas yang ia punya. Dan begitu pun sebaliknya. Jangan terlalu menghina orang yang lebih mementingkan seberapa berkualitas idealismenya, sebab mungkin ia sudah berada di level yang berbeda dengan kita. Kebahagiaan dan kepuasan tidak selalu diukur dengan uang mengingat fungsi ideal mengenai uang bukan untuk mengukur kebahagiaan dan kesenangan melainkan hanya sebagai alat transaksi barter dan jual-beli.

Marion D'rossi

Marion D’rossi, lahir pada 1 Januari 1995, adalah seorang penulis yang sejak kecil memiliki kecintaan mendalam terhadap dunia sastra. Ia telah menelurkan karya-karya dalam berbagai genre, mulai dari drama hingga petualangan, tetapi genre favoritnya adalah Thriller dan Fantasi, yang memungkinkan imajinasinya berkembang tanpa batas. Marion percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menginspirasi, menghibur, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh kejutan. Selain menulis, Marion juga berperan sebagai Manajer IT di MS Stories, sebuah platform modern yang menghubungkan penulis dan pembaca melalui novel digital. Di tengah kesibukannya, ia tetap menyempatkan waktu untuk mengasah keterampilan menulis, berinteraksi dengan komunitas sastra, dan membangun dunia imajinatif yang memikat. Bagi Marion, menulis bukan hanya profesi, tetapi juga cara untuk meninggalkan jejak dalam perjalanan hidup.

Posting Komentar

Bijaklah dalam berkomentar. Gunakan kata-kata yang sopan karena kita adalah bangsa yang beradab.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak