Oleh: Nihay Ridani
Membahas hal-hal terkait wanita dan seksualitas memang agak riskan. Dibilang tabu sebenarnya tidak tabu, tapi masyarakat kita belum mau menganggap lumrah. Salah satunya soal keperawanan, meski sebenarnya pendidikan seputar seksual itu penting, baik bagi pria maupun wanita, dari usia remaja hingga dewasa. Namun, faktanya, masih banyak yang salah kaprah tentang kasus keperawanan ini.
Banyak mitos diciptakan soal keperawanan sebagai ajang
taruhan kesucian perempuan. Ibarat barang dagang, yang harus utuh disegel ketika dibeli dengan label pernikahan nanti. Label yang dimaksud di sini adalah himen,
atau biasa kita sebut selaput dara. Tentu kita tidak asing dengan mitos yang
sudah sangat mendarah daging—entah berapa abad lamanya—di kultur kita ini.
Perihal selaput dara, yang ditandai dengan keluarnya darah di malam pertama
sebagai tanda keperawanan seorang wanita. Bagi saya, mitos ini hanyalah
karangan budaya patriarki guna menduduki harga diri dan tubuh kami, para
wanita. Apabila darah tak keluar dari vagina saat malam pertama, kesucian
wanita dianggap tak lagi ada.
Mitos ini dibangun dan diyakini hanya untuk kepentingan
laki-laki. Tanpa manfaat, bahkan malah menjatuhkan perempuan. Sebab terlalu
lamanya mitos-mitos terkait seksualitas beredar di masyarakat, perempuan jadi
kehilangan otoritas atas dirinya sendiri. Kenyataan tersebut didukung dengan
bagaimana perempuan tak memliki hak untuk menolak hubungan seksual, memilih
kontrasepsi, atau yang pernah ramai dibahas masa, menolak untuk disunat.
Akibatnya, kasus-kasus tentang penelantaran, perceraian,
hingga kekerasan terhadap wanita sebab selaput dara yang dianggap sudah sudah
hilang dampak dari kepercayaan terhadap mitos aneh tersebut terlalu sering terjadi di sekitar kita. Saking lamanya beredar, saking kuatnya mengakar, orang
memilih untuk percaya saja tanpa berusaha menilik kebenaran di balik mitos
keperawanan. Orang tidak pernah ingin mencari tahu apakah selaput dara
benar-benar ada? Jika, ya, untuk apa kegunaannya? Dan mengapa hanya sekadar
dipersembahkan bagi kaum laki-laki?
Apakah Keperawanan Memang Ada?
Jawabannya tidak. Dalam bidang medis, tidak pernah ada
istilah perawan atau tidak perawan. Kata keperawanan bukan berasal dari bidang
medis, melainkan ekspetasi sosial terhadap status perempuan.
Dalam sebuah tulisan di laman Klikdokter, Dr. Robbi Asri
Wicaksono, SpOG, ahli spesialis obgyn di RSIA Limijati, Bandung, menuturkan, “Tidak
ada istilah keperawanan ,ataupun bagaimana mengetahui keperawanan maupun definisi
keperawanan itu sendiri dalam dunia medis, itu tidak ada. Tidak ada sama
sekali. Jadi, kalau orang mengasumsikan keutuhan selaput dara berarti dia
perawan, ya secara keilmuan kedokteran itu salah.”
Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), Perserikatan Bangsa-bangsa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Wanita (UN Woman) menentang adanya
pemeriksaan keperawanan sebab tes tersebut bukanlah suatu metode ilmiah yang
signifikan.
Lantas Bagaimana dengan Selaput Dara? Apakah Selaput Dara Berkaitan dengan Keperawanan?
Dalam anatomi tubuh manusia, selaput dara adalah lipatan membran
yang menutupi sebagian luar saluran reproduksi wanita. Ukuran, bentuk, dan
sifat fleksibel selaput dara setiap wanita selalu berbeda. Maka, menjadikannya
patokan sebagai penilaian keperawanan seseorang bukanlah hal yang signifikan.
Utuh atau tidaknya selaput dara tidak melulu menentukan perawan atau tidaknya
seorang perempuan. Dalam banyak kasus, selaput dara dapat robek tidak
disebabkan aktivitas seksual, banyak faktor lain yang menyebabkan selaput dara robek seperti berdansa, berkuda, bersepeda, dsb. Bahkan, kerap juga
ditemukan bahwa seseorang yang sudah menikah dan melahirkan belum robek selaput
daranya karena fleksibilitas yang cukup tinggi. Perlu juga digaris bawahi bahwa
tidak semua wanita lahir dengan selaput dara. Pasalnya, organ ini tidak memiliki
peran yang begitu penting dengan fungsi khusus bagi tubuh.
Jadi, seseorang yang lahir tanpa selaput dara atau mengalami
robek selaput dara saat berolahraga apakah dianggap perawan? Atau sebenarnya,
definisi perawan itu sendiri perempuan yang belum melakukan hubungan seksual?
Atau perempuan yang belum terikat dalam tali pernikahan?
Konsep keperawanan wanita masih begitu abstrak dan dipenuhi
mitos-mitos yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Banyak orang yang
masih tidak memahami konsep selaput dara bukanlah tolak ukur keperawanan. Untuk itu, kesalahpahaman ini harus kita akhiri, sebab, nilai seorang perempuan di mata sosial
tidak sepatutnya berkurang hanya dikarenakan kegagalan penyerapan informasi.