UNTUK DIRI YANG SENDIRI
OLEH: MOMOY
OLEH: MOMOY
Siapa yang Serigala, siapa yang Domba. Entahlah. Aku semakin dibuat bingung oleh keributan-keributan para manusia yang mempertengkarkan ketidakpastian. Kepalaku meledak-ledak sebab ketidakpastian dipasti-pastikan.
Ketika menghadapkan wajah pada kenyataan, manusia-manusia berubah menjadi Malaikat, beramai-ramai menyiarkan berita kemungkinan. Ada juga orang-orang yang terhakimi berlagak jadi Setan dalam kesendirian.
Apakah Malaikat sekarang telah berpura-pura menjadi Setan? Ataukah sebaliknya, para Setan yang berpura-pura menjadi Malaikat?
Cahaya-cahaya kebenaran tak lagi terlingkari oleh satu padu, tetapi terkotak-kotakkan dan divariasi menjadi warna-warna sesuai selera. Yang satunya memekik hingga urat di leher seolah mencelos, menandakan tak inginnya mereka mengambil peran sebagai yang bersalah. Satu lainnya menajamkan tatapan penuh amarah, membara, membakar-bakar di kedalaman jiwa. Sementara yang lainnya mengalihkan pandangan dan bersembunyi di zona-zona aman.
Kepalaku semakin terjerat tali kegelisahan. Orang-orang di hadapan tak lagi terlihat seperti makhluk manusia. Aku beringsut mundur dan menggeleng-gelengkan kepala. Melemparkan pertanyaan hampa di lapisan hati paling kalbu. Siapa yang benar? Siapa yang salah? Harus ikuti siapa? Harus berbuat apa? Sampai kapan? Ke mana akan pergi?
Semua pertanyaan tak satu pun terjawab.
Aku memilih pergi dari segala kekacauan yang merajalela pada negeriku tercinta. Menyepi, mencuci rasa yang tak lagi dapat merasa. Tersunyikan bunyi yang bersembunyi pada aksara dan tergores di atas lembar-lembar syaraf keterlupaan.
Wahai, diri yang mengaku sendiri, padahal sebenarnya tak pernah berdiri dalam diri. Yang sebenarnya tak pernah hidup dalam kehidupan yang mematikan hidup. Yang tak pernah merasa sadar dalam kesadaran yang tidak tersadarkan.
Dalam keterpejaman, akhirnya aku menemukan sebuah jawaban.
"Kubisikkan padamu jawaban yang benar dari sebenar-benarnya kebenaran. Kutunjukkan padamu sebuah kesalahan yang tak pernah disalahkan keadaan benarnya."
Sebuah suara berbisik, "Wahai, engkau yang ada, tapi sebenarnya tiada dalam keadaan yang menghampa. Jawaban dari pertanyaanmu 'tak ada'."
Yang sejati adalah diri, tak melengos ke kiri, kanan, belakang, depan, atas ataupun bawah. Yang sejati jawaban kebenaran ialah 'ketidakpedulian' dan 'ketidakterpengaruhnya' diri oleh eksternalitas. Yang ada hanya satu 'diri' yang 'berdiri' di atas 'pendirian'.
Aku semakin yakin dengan kesendirian. Di jalan sunyi ini aku terlunta-lunta menapak tanah yang dipenuhi lahar-lahar kebencian. Di jalan tak satu pun orang melintas ini aku terhuyung-huyung menahan perih pada lubang-lubang yang tercipta dari ketajaman lidah-lidah para manusia, padahal sejatinya kami tercipta dari saripati yang sama atas kehendak dan cintanya. Lalu, kenapa aku dikucilkan seolah-olah jasmani dan rohani ciptaan Tuhan ini tak secuil pun baiknya dapat dijadikan banding dari segala kehinaan.
Bukan Tuhan yang mengucilkan diriku, tetapi mereka yang merasa paling manusialah yang meniadakan adaku berdasar duga dan prasangka. Diperhinakan seperti tak bertuhan dengan Tuhan yang sama, Tunggal, Maha dari Segala Maha.
Aku tak mengharap mereka terjengkang, apalagi terazab oleh-Mu. Yang kuyakini tak ada benci, bahkan Kau tak pernah menciptakan benci. Kamilah yang mencipta benci, menjadi sok Tuhan memperhinakan orang-orang, bahkan lebih buruknya lagi kami kerap mengambil alih peran Rakib dan Atid-Mu.
Aku jadi tak heran, Tuhan. Aku tak lagi heran. Kegilaan yang melekat dalam kesadaran inilah jalan satu-satunya Engkau menyayangiku. Karena Engkau menyayangiku, maka kehendak-Mu menghilangkan kesadaranku, kini bersembunyi pada kegilaan tanpa kebingungan bersemayam di dalamnya. Atas cinta-Mu, aku tak gila, melainkan kegilaanku yang gila dan merindui kesadaran akalku.
Aku hanya bisa tersenyum dan tertawa-tawa melihat para manusia menampakkan kejijikan, keheranan, perprasangkaan, sampai dengan keterasingan pada tingkat ketidakwajaran.