Sempat kita menjadi raja dan ratu
di dunia virtual— duduk berdampingan di hadapan mesin arcade, kita menembak, kita adu balap,
dan kita sepakat: siapa kalah, yang traktir es krim.
Tawa meledak lebih kencang dari suara mesin
Tangan bertemu bukan karena romansa
tapi berebut joystick di tengah layar yang berkedip.
Kau selalu mahir tekan tombol cepat,
aku sok mengerti strategi—
dan kita cocok,
seperti cheat code yang tak disengaja.
Di ruang sempit penuh neon dan bunyi koin jatuh,
kita menciptakan tempat yang tak bisa ditemukan di luar sana—
dunia kecil tempat cinta tumbuh
bukan dari kata-kata,
tapi dari kerja sama selamatkan nyawa yang tersisa
Tapi setiap game punya akhir
Dan cinta ternyata tak kebal "reset"
Hari ini aku main sendiri,
mesin yang sama, level yang sama —
tapi sebelahku tidak ada
Tidak ada tawa saat aku kalah bodoh karena melamun.
Namamu masih ada di papan skor,
tiga huruf yang berarti bukan kebetulan,
meski sekarang aku tak yakin masih boleh menyebutnya keras-keras.
Arcade ini tetap sama:
lampu yang tak pernah benar-benar padam,
musik 8 bit yang mengulang dan mengulang—
seperti kenangan kita
yang tak bisa kulupakan,
meski sudah tak bisa kuulang.
Dan aku pun menaruh koin terakhir
bukan untuk menang,
tapi untuk merasa
bahwa meski sudah berakhir,
pernah ada rasa
yang hidup dari bunyi tombol
dan tawa yang sederhana