Aku, Kamu, dan Hujan
Karya: Momoy
Bulan
Oktober telah tiba. Itu artinya musim hujan pun datang. Musim hujan
berarti musim dingin. Dan musim dingin adalah saat pertemuanku
dengannya setahun yang lalu.
Di
balik jendela kaca kamar, kupandangi hujan yang mengalir deras
bercampur sang angin dan kilatan halilintar. Seketika itu juga,
teringatlah sebuah nama yang pernah terukir di jendela yang berembun.
I
Love U, Marsya.
Tidak.
Seharusnya aku menulisnya pada sebuah batu. Dengan begitu, mungkin ia
tidak akan hilang termakan waktu, pikirku.
Kupejamkan
mata, kemudian mulai menerawang masa lalu.
Tampak
seorang gadis berlarian di tengah hujan. Kedua matanya sibuk
mencari-cari tempat teduh agar terhindar dari hujan. Di sudut
pertokoan, aku berdiri menyedekapkan tangan, berusaha memeluk diri.
Gadis itu kini ada di sampingku. Sesekali tubuhnya bergetar menahan
dingin. Ditatapnya hujan lebat sore itu.
“Yaah.
Kapan berhentinya hujan ini,” gumam sang gadis.
“Mungkin
akan lama berhentinya, Mbak.
Soalnya ini hujan pertama di bulan ini,” cetusku tiba-tiba.
“Eh,
benar juga, Mas. Ini hujan pertama di bulan ini. Pantas aja gede
hujannya,” balas si gadis sembari tertawa kecil.
“Kenalkan,
aku Yosi.” Kuulurkan tangan.
Dengan
perlahan, disambutnya tanganku. “Aku Marsya.”
Dapat
kurasakan tangannya yang dingin. Bahkan, tampak begitu pucat.
Tak
lama kemudian, kami melepaskan jabatan tangan kami. Marsya tersenyum
ramah.
Begitulah
awal kedekatanku dengan Marsya setahun silam. Setelah beberapa bulan
mengenalnya, aku tahu mengapa pada saat itu telapak tangannya begitu
dingin dan pucat. Gadis yang malang. Ia ternyata sakit-sakitan.
Begitu pilu hatiku ketika mengetahui hal itu.
“Yosi.
Apa kamu masih ingat bagaimana kita bisa dekat sampai sekarang ini?”
tanya Marsya, berusaha menggali ingatanku.
“Tentu
saja aku masih ingat semuanya. Musim hujan, tepatnya di bulan
Oktober,” jawabku mantap.
“Aku
masih sangat ingat bagaimana hangatnya tanganmu waktu itu. Tidak
seperti tanganku yang sangat dingin, pucat, dan mengerut. Sebenarnya
aku malu padamu.”
“Untuk
apa malu denganku? Aku pernah bertanya-tanya waktu itu, kenapa
tanganmu begitu dingin. Tetapi, setelah mengetahui penyebabnya, aku
... tak bisa melakukan apa-apa. Aku berharap untuk tidak mengetahui
hal itu, Marsya.”
“Tidak.
Aku tidak butuh belas kasihan dari siapa pun. Bagiku, sudah cukup
jika kamu bisa menghangatkanku yang merasa dingin.” Marsya menghela
napas. “Aku punya satu keinginan, Yos. Aku ingin mewujudkan
keinginan itu. Tetapi, dengan keadaanku yang seperti ini, aku sadar
tidak pernah mampu untuk itu.”
“Apa
itu? Apa keinginanmu, Marsya?”
“Aku
ingin bermain dengan hujan. Aku ingin merasakan derasnya hujan,”
jawab gadis manis itu seraya tersenyum pasrah.
“Ingatlah
dengan keadaanmu, Marsya. Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu,
karena aku sangat mencintaimu.”
“Besok
aku akan pergi ke luar negeri. Kata ayahku, mungkin aku bisa
menemukan dokter yang bisa menyembuhkan penyakitku. Jika aku bisa
sembuh, aku pasti akan kembali lagi dan bermain hujan denganmu.
Tetapi, jika aku tidak dapat sembuh dari penyakit ini, aku minta agar
kamu yang menjadi hujan itu untukku.”
“Tidak
bisa, Marsya. Aku tidak ingin menjadi hujan yang bisa membuatmu
menggigil karena dingin. Aku lebih baik menjadi payung untukmu, agar
aku bisa melindungimu dari deras dan dinginnya hujan.”
“Yosi,”
ucap Marsya selembut mungkin. “Aku suka hujan. Aku ingin merasakan
bagaimana hujan membasahi tubuhku. Aku sangat ingin merasakan dingin
hujan tanpa sakit setelahnya. Dan aku ingin kamu bisa menjadi hujan
itu untukku,” jelas Marsya sembari menatap kedua mataku yang hampir
berkaca-kaca.
Akhirnya,
saat-saat sulit itu tiba. Marsya pergi ke luar negeri guna
menyembuhkan penyakit Raynaud
yang diidapnya. Dia pernah bilang jika ia tak dapat sembuh dari
penyakit itu, maka setiap organ penting di dalam tubuhnya akan
terkena dampak, sampai akhirnya bisa menyebabkan kematian.
Berpikir
ia tak ada di dunia ini benar-benar membuat dadaku sesak. Setiap
malam aku selalu berdoa pada Tuhan, meminta dengan sangat agar
kekasihku, Marsya dapat sembuh dari penyakitnya. Dengan begitu, ia
bisa mewujudkan keinginannya. Ia bisa bermain hujan sepuasnya tanpa
harus jatuh sakit setelah itu.
Akan
tetapi, musim hujan ini telah tiba, ia tak kunjung kembali. Padahal,
jika ia tak dapat disembuhkan, aku akan dengan rela menjadi hujan
untuknya. Aku akan dengan rela menjadi hujan yang menyejukkan
dirinya. Meski kutahu setiap hujan mungkin tidak ada yang baik untuk
kesehatan, aku akan coba menjadi hujan yang dapat menyelamatkan
dirinya dari kerinduan.
Hujan
semakin deras mengguyur jagat raya. Meski di dalam rumah, tetapi
dingin ini begitu menusuk. Langit sore semakin gelap, sudah tak ada
celah bagi mentari untuk bersinar.
Pikiran
tentang sang kekasih juga tak hentinya menghantui. Aku tidak
bermaksud menyalahkan Tuhan yang telah mempertemukanku dengan Marsya.
Aku tidak bermaksud menyalahkan Tuhan yang telah memberikan penyakit
kepada Marsya. Aku sungguh tidak pantas mengutarakan keluhanku kepada
Tuhan.
Aku
akan bersyukur kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami. Aku dan
Marsya di kala hujan sore itu. Aku ingin tersenyum ketika
membayangkan bagaimana takdir mengikat dan mempertemukan kami. Namun,
justru senyum ini masih tertahan dengan pikiran-pikiran negatifku.
Aku
ingin menangis. Akan tetapi, dapatkah menangis menyelesaikan
masalahku? Tentu
saja tidak. Meski
begitu, aku tetap melangkah dan berdiri di tengah guyuran sang hujan.
Di
sela-sela
kesedihan, kedua pipiku merasa
menyentuh
sesuatu. Hangat. Ketika kutolehkan pandangan, seorang gadis tersenyum
manis padaku. Marsya!
Aku
bergeming dengan perasaan tak menentu. Tak
lama kemudian senyum yang telah tertahan beberapa waktu lalu akhirnya
menampakkan diri. Tepat di depan kedua mata bulat kekasihku.
“Hai,
Kekasihku!” sapa Marsya, masih dengan senyum simpulnya.
“Mar
... sya ....”
“Iya.
Ini aku Marsya. Aku kembali untuk menepati janji. Terima
kasih sudah menepati janjimu, Yosi.”
“Sejak
kapan—”
“Aku
baru sampai di sini. Dan aku ingin mewujudkan keinginanku, yaitu
merasakan dinginnya hujan.” Digapainya lagi kedua pipiku. “Hangat?”
lanjutnya.
“Hangat.
Apakah itu artinya—”
“Benar.
Aku sudah sembuh sekarang. Terima kasih sudah setia menungguku sampai
sekarang.”
Aku
menangis haru atas kesembuhan sang kekasih.
“Pasti
sangat sulit, ya. Tapi, aku sudah di sini. Aku kembali dan akan
selamanya bersama kamu. Kita bisa bermandikan hujan kapan pun kita
mau. Kita bisa merasakan dinginnya hujan kapan saja. Dan aku sudah
tidak butuh payung lagi.”
Kemudian,
kupeluk sang kekasih dengan erat di tengah guyuran hujan sore itu.
Kulepaskan setiap debaran rinduku yang hanya untuknya. Setiap rasa
takut yang beberapa waktu lalu mencoba menikam, telah pergi tak
tersisa. Hangat tubuh Marsya menenangkan jiwa.
“Apakah
kamu bahagia?” tanya Marsya, masih dalam pelukku.
“Iya.
Aku ... sangat bahagia. Terima kasih sudah menepati janjimu padaku,
Marsya.”
“Apakah
aku datang tepat waktu?”
“Iya,
kamu datang tepat waktu.”
“Apakah
kamu masih ingat ... tepat di bulan ini?”
“Iya,
Marsya. Aku masih sangat ingat di bulan ini. Bulan Oktober, basah,
dingin, yang penuh dengan kenangan kita.”
“Aku
juga sangat, sangat, sangat bahagia.”
Hujan
reda. Awan hitam perlahan-lahan pergi. Mentari bersinar. Dan pelangi
tercipta indah.
“Lihat,
ada pelangi,” ujarku sembari melepas dekapanku pada Marsya.
“Indah,
ya.”
Marsya
menghela napas begitu dalam, mencoba
menciumi aroma khas tanah sehabis hujan.
Begitulah
bagaimana hujan menjadikan kami begitu dekat dan saling mencintai.
Semuanya memang karena kuasa Tuhan, tetapi dengan perantara hujan.
Entah
akan sampai kapan kebersamaan kami akan
berlangsung. Meski begitu, kami pasti akan terus melangkahkan kaki
menuju jalan ke masa depan. Hujan-hujan yang lain sedang menanti,
tetapi dingin dan basah bukan sebuah penghalang untuk terus maju.
Bahkan tanpa payung pun kami akan melawan dinginnya hujan itu. Setelah hujan reda, pelangi indah akan menampakkan diri di kedua mata, sampai kami sadar dan berkata, “Oh. Ternyata hujan telah reda. Ternyata kami sudah berhasil melawan derasnya hujan. Dan selamat dari dinginnya yang menusuk.”
Bahkan tanpa payung pun kami akan melawan dinginnya hujan itu. Setelah hujan reda, pelangi indah akan menampakkan diri di kedua mata, sampai kami sadar dan berkata, “Oh. Ternyata hujan telah reda. Ternyata kami sudah berhasil melawan derasnya hujan. Dan selamat dari dinginnya yang menusuk.”
Tentang Penulis
Imron Rosyadi yang bernama pena Momoy adalah seorang penulis sekaligus pemimpin redaksi di sebuah penerbit. Penulis yang terkenal dengan karya bukunya berjudul Paradoks Waktu ini mulai menulis di usia 15 tahun. Sampai saat ini, penulis sudah melahirkan 3 buku cetak dan beberapa ebook. Menulis karya dalam berbagai genre, termasuk fantasi dan horor, dan terutama romansa.Kritik dan saran ke penulis melalui akun media sosial:Ig: @momoy_official_